Hati yang bercahaya adalah hati yang tersinari oleh cahaya cinta dan kebikjasaan Hati yang hanya disandarkan pada pemilik cinta dan cahaya kehidupan Hati yang senantiasa berharap cintanya Sang Pmilik cinta abadi Hati yang bercahaya adalah hati yang mencinta karena cinyaNya Mengasihi karena kasihNya dan hati itu adalah refleksi pantulanNya Laa ilaha illa Allah-laa illa Allah-Allah
Rabu, 04 November 2009
ILMU DAN PENDEKATAN ILMIAH
Satu diantara hal-hal paling sulit dalam mempelajari ilmu pengetahuan ialah arti dan penggunaan khusus yang diberikan oleh ilmuan pada kata – kata sehari - hari. Ketika peneliti berbicara tentang variable bebas dan variable terikat, kita harus mengetahui arti yang dimaksudkannya. Ketika peneliti mengatakan bahwa dia telah merandominasikan prosedur eksperimennya, kita bukan hanya harus tahu maksudnya melainkan juga mengerti alasan tindakan-tindakan itu.
Pendekatan yang digunakan ilmuwan harus dipahami baik-baik. Pendekatan ilmuwan bukanlah sesuatu yang ajaib dan esetorik, tapi manakala sudah dipahamai akan tampak wajar bahkan hampir tak terhindarkan pendekatan yang digunakan ilmuan itu.
Marilah kita mulai pengkajian kita dengan menperhatikan cara ilmuwan mendekati maslah, dan mengamati perbedaan antara pendekatan itu dengan apa yang boleh disebut sebagai pikiran sehat ( common sense)
ILMU PENGETAHUAN DAN PIKIRAN SEHAT
Ilmu merupakan perpanjangan pikiran sehat yang sistematis dan terkendali, seperti dikatan oleh Conant bahwasannya pikiran sehat adalah serangkaian konsep dan pola konseptual yang memenuhi kebutuhan psikis manusia. Akan tetapi konsep dan pola konseptual tersebut dapat menyesatkan dalam ilmu modern, khususnya psikologi dan pendidikan. Hanya dengan berdasarkan pikiran sehat, banyak pendidik pada abad yang baru lalu menemukakan bahwa hukuman atau sanksi banyak berguan sebagai sarana dasar dalam pendidikan. Akan tetapi kini kita memiliki bukti bahwa pandanagn tentang motivasi yang hanya berdasarkan pikiran sehat itu boleh jadi keliru. Hadiah ( reward ) kelihatan lebih efektif daripada hukuman dalam membantu proses belajar.
Ilmu dan “common sense” berbeda tajam dalam lima hal. Perbedaan itu berkisar pada kata “sistematik” dan “terkendali”. Beda pertama, penggunaan konseptual dan struktur teoritisnya nyata-nyata lain. Orang awam memang menggunakan “teori” dan konsep, tetapi biasanya dalam pengertian yang longgar. Penjelasan yang “aneh/khayal” tentang fenomen alami dan insan sering diterima begitu saja tanpa dipertanyakan secara mendalam.
Kedua, ilmuan secara sistematis dan empiris menguji teori-teori dan hipotesis-hipotesisnya. Orang-oarang yang bukan ilmuwan pun menguji “hipotesis”, namun dengan cara yang boleh disebut “selektif”. Mereka sering memilih-milih bukti tertentu, semata-mata karena cocok dengan hipotesisnya.
Perbedaan ketiga terletak pada pengertian tentang kendali atau control. Dalam penelitian ilmiah, “control” dapat berarti bermacam-macam. Istilah itu menyiratkan bahwa ilmuwan secara sistematis berupaya untuk mengesampingkan variabel-variabel yang merupakan sebab-sebab “bagi timbulnya akibat-akibat yang sedang dikaji”.
Perbedaan keempat antara ilmu dan common sense mungkin tidaklah begitu tajam. Telah dikatan bahwa ilmuwan terus menerus terpancang pada hubungan antara fenomen-fenomen. Demikian pula orang kebanyakan yang menggunakan common sense untuk menjelaskn fenomen. Akan tetapi ilmuwan secara penuh sadar dan sistematis mencari hubungan-hubungan itu. Keasyikan orang kebanyakan tentang hubungan bersifat longgar, tidak sistematis dan terkendali.
Perbedaan terakhir antara common sense dengan ilmu terletak dalam penjelasan yang berlainan mengenai fenomen yang teramati. Ilmuwan, berupaya menjelaskan hubungan-hubungan antara fenomen-fenomen yang teramati, secara hati-hati mengesampingkan apa yang dinamakan “penjelasan metafisik”.
EMPAT METODE PENGETAHUAN
Charles Pierce mengungkapkan bahwa ada empat jalan untuk memperoleh pengetahuan, yaitu ;
1) Dengan kegigihan/keuletan ( tenacity). Dengan cara ini kita dapat memegang teguh kebenaran, yakni kebenaran yang kita kenal sebagai hal yang benar karena kaita memegangnya teguh, karena kita senantiasa mengetahuinya sebagai sesuatu yang benar.
2) Jalan kedua kearah pengetahuan adalah cara otoritas/kewenangan. Inilah cara yang ditempuh dalam hal keyakinan yang telah mapan.
3) A priori. ( Cohen dan Nagel menyebutnya metode intuisi ). Gagasannya ialah, melalui pergaulan dan komunikasi bebas orang dapat memperoleh kebenaran, karena ia mempunyai kecenderungan alami kearah kebenaran.
4) Metode ilmu pengetahuan.
Pendekatan ilmiah memiliki ciri yang tidak ada pada ketiga metode lain dalam memperoleh pengetahuan: kesanggupan mengoreksi diri.
ILMU DAN FUNGSI – FUNGSINYA
Secara garis besar, ada dua pandangan tentang ilmu, yakni pandangan statis dan pandangan dinamis. Pandangan statis tampak mempengaruhi kebanyakan orang awam dan mahsiswa, adalah bahwa ilmu pengetahuan merupakan suatu kegiatan yang memberikan sumbangan berupa informasi sistematis kepada dunia. Tugas ilmuwan adalah menyingkapkan fakta baru dan menambahkanya pada tubuh informasi yang telah ada sebelumnya. ilmu bahkan dipandang sebagai sehimpun fakta. Dalam pandangan ini, ilmu pengetahuan juga merupakan suatu cara untuk menjelaskan fenomen-fenomen yang teramati. Dengan demikian tekanannya adalah pada taraf dan keadaan ilmu pengetahuan yang sekarang dan peningkatannya, dan pada perangkat hukum, teori, hipotesis, dan kaidah- kaidah yang sekarang.
Dipihak lain pandangan dinamis melihat ilmu sebagai suatu kegiatan, yakni hal-hal yang dilakukan oleh para ilmuwan. Tentu saja taraf pengetahuan yang tercapai pada suatu saat tertentu itu penting. Akan tetapi hal itu penting terutama karena merupakan landasan bagi teori dan penelitian lebih lanjut. Gagasan ini disebut pandangan heuristik. Kata “heuristic” yang berarti berfungsi menyingkap atau mengungkap, kini mempunyai konotasi yang berkaitan dengan penemuan diri. Pandangan heuristik dalam ilmu pengetahuan menekankan teori dan skema konseptual yang saling terkait dan banyak manfaatnya bagi penenlitian lebih lanjut. Tekanan heuristik adalah tekanan pada penemuan atau penyingkapan.
Fungsi Ilmu
Dalam hal ini kita menemukan dua pandangan. Para praktisi yang umumnya bukan ilmuwan memandang ilmu sebagai suatu disiplin atau kegiatan yang ditujukan pada perbaikan hal-ihwal, dan pada kemajuan. Beberapa ilmuwan pun mengambil sikap begini. Dalam pandangan ini fungsi ilmu pengetahuan adalah melakukan penyingkapan, mempelajari fakta, memajukan pengetahuan guna melakukan berbagai perbaikan.
Suatu pandangan yang berbeda diungkapan oleh Braithwaite : “ Fungsi ilmu pengetahuan, adalah menetapkan hukum-hukum umum yang meliputi perilaku kejadian dan obyek yang dikaji oleh ilmu yang bersangkutan, dengan demikian memungkinkan kita saling mengaitkan pengetahuan kita tentang kejadian-kejadian yang belum dikenal”.
TUJUAN ILMU, PENJELASAN ILMIAH DAN TEORI
Tujuan dasar ilmu adalah teori, tujuan ilmu adalah menjelaskan fenomen-fenomen alami. Penjelasan-penjelasan itu dinamakan teori. Tujuan-tujuan lain ilmu pengetahuan yang telah dinyatakan ialah penjelasan, pemahaman, prediksi/peramalan, dan kontrol/pengendalian. Akan tetapi jika kita menerima teori sebagai tujuan akhir dan utama dari ilmu, penjelasan dan pemahaman itu menjadi bagian dari tujuan utama tersebut.
PENELITIAN ILMIAH SUATU DEFINISI
Penelitian ilmiah adalah penyelidikan yang sistematis, terkontrol, empiris, dan kritis tentang fenomen-fenomen alami, dengan dipandu oleh teori dan hipotesis tentang hubungan yang dikira terdapat antara fenomen-fenomen itu.
Ada dua butir yang perlu ditekankan. Pertama, kalau kita berkata bahwa penelitian ilmiah bersifat sistematis dan terkontrol, ini berarti bahwa penyelidikan ilmiah tertata dengan cara tertentu sehingga penyidik dapat memiliki keyakinan kritis mengenai hasil penelitian.
Kedua, penyelidikan bersifat empiris. Jika ilmuwan berpendapat bahwa sesuatu adalah begini, dia harus menggunakan cara tertentu untuk menguji keyakinannya itu dengan sesuatu diluar diri si ilmuwan. Dengan kata lain, pendapat atau keyakinan sebyektif harus diperiksa dengan menghadapkannya pada realitas obyektif.
PENDEKATAN ILMIAH
Pendekatan ilmiah merupakan bentuk sistematis yang khusus dari seluruh pemikiran dan telah reflektif.
Masalah, Hambatan, Gagasan
Ilmuwan biasanya mengalami suatu hambatan dalam upayanya memahami. Ada keresahan yang samar-samar tentang fenomen-fenomen yang teramati dan tak teramati. Langkah pertama dan terpenting yang dilakukannya adalah mengungkap gagasan itu secara terbuka. Ilmuwan harus menggulatinya, menguji, dan menghayatinya.
Hipotesis
Setelah intelektualisasi masalah, setelah menengok kebelakang pada pengalaman guna mencari solusi yang mungkin, dan setelah mengamati fenomena yang relevan, ilmuan boleh merumuskan hipotesis. Suatu hipotesis adalah pernyataan dugaan, suatu posisi tentative ( sementara ) mengenai hubungan atau relasi antara dua fenomen ataupun variable atau lebih. Ilmuwan akan berkata ,” jika `anu` muncul, maka `itu` akan menjadi sebagai akibatnya”.
Penalaran Deduksi
Langkah atau kegiatan ini sering lolos dari perhatian, atau kurang ditekankan. Tahap ini barangkali adalah bagian terpenting dalam analisis. Ilmuwan mendeduksi konsekuensi-konsekuensi dari hipotesis yang telah dirumuskannya.
Sebuah contoh akan dapat membantu pemahaman tentang tahap “penalaran-runutan” ini. Andaikan seorang penyelidik terusik untuk mempelajari perilaku agresif. Dia bertanya-tanya mengapa orang sering agresif dalam situasi ketika agresifitas itu tidaklah pada tempatnya. Dia mencatat bahwa perilaku agresif tampaknya muncul manakala orang telah mengalami suatu kesulitan. Setelah berpikir beberapa lama, membaca-baca buku untuk menemukan petunjuk, dan melakukan pengamatan lebih lanjut, dirumuskannya suatu hipotesis: frustasi mengakibatkan agresi. Frustasi disini didefinisikan sebagai keterhalangan mencapai tujuan, dan agresi adalah perilaku yang bercirikan serangan fisik dan verbal terhadap orang atau obyek lain.
Penalaran dapat membantu kita untuk samapai pada masalah-masalah yang lebih luas, lebih mendasar, dan dengan demikian lebih bermakna, dan juga menyediakan implikasi operasional ( yang dapat diuji) dari hipotesis aslinya.
Observasi-Tes-Eksperimen
Observasi-tes-eksperimen hanyalah bagian dari upaya ilmiah. Jika masalahnya dinyatakan dengan baik, hipotesis, atau hipotesis-hipotesisnya dirumuskan secara memadai, dan implikasi hipotssi itu dirunut secara cermat, langkah ini menjadi hamper otomatis dengan anggapan bahwa penelitiannya memiliki kompetensi dalam soal-soal yang bersifat teknis.
Saripati hipotesis adalah menguji hubungan/relasi yang diungkapkan oleh hipotesis. Dengan demikian yang kita uji bukanlah variabel melainkan hubungan antara variable-variable itu. Pengamatan pengujian, dan percobaan diabadikan pada satu tujuan besar yakni menghadapkan hubungan itu pada tes empirik.
Dawey menekankan bahwa runtutan ( sequence ) pemikiran reflektif atau telaah reflektif tidaklah tetap. Dapat kita katakan bahwa : langkah-langkah atau jenjang-jenjang ancangan ilmiah tidaklah tertetapkan secara rapi. Langkah pertama tidaklah rampung secara rapi lebih dulu sebelum langkah kedua diambil. Lebih lanjut kita dapat melakukan pengujian sebelum membuat runutan yang memadai mengenai implikasi-implikasi dari hipotesis itu. Hipotesisinya sendiri mungkin tampak memerlukan penyempurnaan atau elaborasi maupun penghalusan sebagai akibat perunutan implikasi dari hipotesis tersebut. Yang sangat penting adalah umpan balik terhadap masalahnya, hipotesis-hipotesisnya, dan akhirnya teori tentang hasil-hasil penelitian.
Marilah kita meringkas apa yang disebut pendekatan ilmiah dalam melakuakan telaah. Mula-mula adalah kebimbangan, hambatan, suatu situasi terkatung-katung yang menuntut penegasan serta penetapan. Ilmuwan mengalami kebimbangan-kebimbangan yang sayup, gangguan emosional, dicekam oleh gagasan-gagasan yang setengah matang. Dia berjuang untuk merumuskan masalahnya walaupun belum memadai. Ia mempelajari kepustakaan, menyimak pengalamnnya sendiri dan pengalaman ilmuwan-ilmuwan lain. Sering ilmuwan semata-mata harus menunggu suatu lompatan inventif dalam pikiranya. Mungkin itu terjadi, mungkin pula tidak jika masalah sudah dirumuskan, jika pertanyaan-pertanyaan dasar telah dirumuskan sepatutnya, yang lain-lain menjadi mudah. Kemudian hipotesispun dikembangkan dan dari hipotesis ini dijabarkan implikasi-implikasi empirisnya. Dalam proses ini hipotesis aslinya mungkin diubah. Mungkin diluaskan atau disempitkan. Bahakan hipotesis asli itu sama sekali ditinggalkan. terakhir bukan yang final, hubungan atau kaitan yang diungkapkan dalam hipotesis itu diuji terhadap pengamatan dan eksperimen. Atas dasar bukti inilah eksperimen ditolak atau diterima. Informasi ini kemudian dikembalikan pada masalah semula, dan masalah itu dipertahankan atau diubah seperti yang dituntut oleh bukti yang ada.
REFERENSI
Kerlinger, Fred N. Asas asas Penelitian Behavioral. Cetakan ke-11 tahun 2006. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
TEORI PSIKOLOGI AGAMA SEBAGAI DASAR PERUMUSAN STRATEGI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Dengan berkembangnya psikologi dalam pendidikan, maka bersamaan dengan itu muncullah berbagai teori. Di dalam masa perkembangan psikologi pendidikan ini muncullah secara beruntun alairan psikologi pendidikan masing-masing yaitu:
- Psikologi Behavioristik
- Psikologi Kognitif, dan
- Psikologi Humanis
Ketiga aliran psikologi pendidikan ini tumbuh dan berkembang secara beruntun, dari periode ke periode berikutnya. Dari aliran psikologi tersebut bermunculan teori-teori tentang belajar, yaitu:
1. teori-teori belajar dari psikologi behavioristik
2. teori-teori dari psikologi kognitif
3. teori-teori belajar dari psikologi humanistis.[1]
Teori-teori belajar Behavioristik
Teori ini dikemukakan oleh psikolog behavioristik. Mereka bependapat , bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Guru-guru yang menganut pandangan ini berpendapat bahwa tingkah laku murid-murid merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa sekarang dan bahwa segenap tingkah laku merupakan hasil belajar.
Teori belajar psikologi kognitif
Dalam teori belajar ini berpendapat, bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh Reward dan reinforcement. Menurut pendapat para ahli aliran kognitif, tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kondisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Dalamm situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah. Jadi kaum kognitif berpandangan bahwa tingkah laku seseorang lebih bergantung pada insight terhadap hubungan-hubungan yang ada dalam suatau situasai. Mereka memberi tekanan pada organisasi pengamatan atas stimulus didalam lingkungan serta pada factor-faktor yang mempengaruhi pengamatan.
Teori belajar psikologi humanis
Perhatian psikologi humanistis yang terutama tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang dihubungkan pada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Tujuan utama para pendidik adalah membantu siswa mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Agama Pada Masa Anak- Anak
Yang dimaksud dengan masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan:[2]
1. 0 – 2 tahun (masa vital)
2. 2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)
3. 6 – 12 tahun (masa sekolah)
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata tuhan itu tumbuh.
Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (27 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.
Tahap Perkembangan Beragama Pada Anak
Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oelh dongeng- dongeng yang kurang, masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.
Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak- kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional dan spontan tapi penuh arti teologis.
2. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika.
Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:
a. Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
b. Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).
c. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
4. Sifat agama pada anak
Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:
a. Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik)
kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral.
b. Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil penelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa.
Pada usia 7 – 9 tahun, doa secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.
c. Anthromorphis
Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.
d. Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).
e. Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting.
Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan
f. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting.
AGAMA PADA MASA REMAJA
A. Perkembangan Jiwa Beragama Pada Remaja
Dalam peta psikologi remaja terdapat tiga bagian:
1. Fase Pueral
Pada masa ini remaja tidak mau dikatakan anak-anak, tetapi juga tidak bersedia dikatakan dewasa. Pada fase pertama ini merasa tidak tenang.
2. Fase Negative
Fase kedua ini hanya berlangsung beberapa bulan saja, yang ditandai oleh sikap ragu- ragu, murung, suka melamun dan sebagainya.
3. Fase Pubertas
Masa ini yang dinamakan dengan Masa Adolesen
Dalam pembahasan ini, Luella Cole sebagaimana disitir kembali oleh Hanna Jumhanna Bastaman, membagi peta remaja menjadi empat bagian:
1. Preadolescence : 11-13 tahun (perempuan) dan 13-15 tahun (laki- laki)
2. Early Adolescence : 13-15 tahun (perempuan) dan 15-17 tahun (laki- laki)
3. Middle Adolescence : 15-18 tahun (perempuan) dan 17-19 tahun (laki- laki)
4. Late Adolescence : 18-21 tahun (perempuan) dan 19-21 tahun (laki- laki)
B. Perasaan Beragama Pada Remaja
Gambaran remaja tentang Tuhan dengan sifat- sifatnya merupakan bagian dari gambarannya terhadap alam dan lingkungannya serta dipengaruhi oleh perasaan dan sifat dari remaja itu sendiri. Keyakinan agama pada remaja merupakan interaksi antara dia dengan lingkungannya. Misalnya, kepercayaan remaja akan kekuasaan tuhan menyebabkannya pelimpahan tanggung jawab atas segala persoalan kepada tuhan, termasuk persoalan masyarakat yang tidak menyenangkan, seperti kekacauan, ketidak adilan, penderitaan, kezaliman, persengkataan, penyelewengan dan sebagainya yang terdapat dalam masyarakat akan menyebabkan mereka kecewa pada tuhan, bahkan kekecewaan tersebut dapat menyebabkan memungkiri kekuasaan tuhan sama sekali.
Perasaan remaja kepada Tuhan bukanlah tetap dan stabil, akan tetapi adalah perasaan yang yang tergantung pada perubahan- perubahan emosi yang sangat cepat, terutama pada masa remaja pertama. Kebutuhan akan Allah misalnya, kadang- kadang tidak terasa jika jiwa mereka dalam keadaan aman, tentram dan tenang. Sebaliknya, Allah sangat dibutuhkan apabila mereka dalam keadaan gelisah, karena menghadapi musibah atau bahaya yang mengancam ketika ia takut gagal atau merasa berdosa.
C. Motivasi Beragama Pada Remaja
Menurut Nico Syukur Dister Ofm, motifasi beragama dibagi menjadi empat motivasi, yaitu:
1. Motivasi yang didorong oleh rasa keinginan untuk mengatasi frustasi yang ada dalam kehidupan, baik frustasi karena kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan alam, frustasi social, frustasi moral maupun frustasi karena kematian.
2. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat.
3. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia atau intelek ingin tahu manusia.
4. Motivasi beragama karena ingin menjadikan agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan.
D. Sikap Remaja Dalam Beragama
Terdapat empat sikap remaja dalam beragama, yaitu:
1. Percaya ikut- ikutan
Percaya ikut- ikutan ini biasanya dihasilkan oleh didikan agama secara sederhana yang didapat dari keluarga dan lingkungannya. Namun demikian ini biasanya hanya terjadi pada masa remaja awal (usia 13-16 tahun). Setelah itu biasanya berkembang kepada cara yang lebih kritis dan sadar sesuai dengan perkembangan psikisnya.
2. Percaya dengan kesadaran
Semangat keagamaan dimulai dengan melihat kembali tentang masalah- masalah keagamaan yang mereka miliki sejak kecil. Mereka ingin menjalankan agama sebagaio suatu lapangan yang baru untuk membuktikan pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama secara ikut- ikutan saja. Biasanya semangat agama tersebut terjadi pada usia 17 tahun atau 18 tahun. Semangat agama tersebut mempunyai dua bentuk:
a. Dalam bentuk positif
semangat agama yang positif, yaitu berusaha melihat agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi menerima hal- hal yang tidak masuk akal. Mereka ingin memurnikan dan membebaskan agama dari bid’ah dan khurafat, dari kekakuan dan kekolotan.
b. Dalam bentuk negatif
Semangat keagamaan dalam bentuk kedua ini akan menjadi bentuk kegiatan yang berbentuk khurafi, yaitu kecenderungan remaja untuk mengambil pengaruh dari luar kedalam masalah- masalah keagamaan, seperti bid’ah, khurafat dan kepercayaan- kepercayaan lainnya.
3. Percaya, tetapi agak ragu- ragu
Keraguan kepercayaan remaja terhadap agamanya dapat dibagi menjadi dua:
a. Keraguan disebabkan kegoncangan jiwa dan terjadinya proses perubahan dalam pribadinya. Hal ini merupakan kewajaran.
b. Keraguan disebabkan adanya kontradiksi atas kenyataan yang dilihatnya dengan apa yang diyakininya, atau dengan pengetahuan yang dimiliki.
4. Tidak percaya atau cenderung ateis
Perkembangan kearah tidak percaya pada tuhan sebenarnya mempunyai akar atau sumber dari masa kecil. Apabila seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua, maka ia telah memendam sesuatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua, selanjutnya terhadap kekuasaan apa pun, termasuk kekuasaan Tuhan.
E. Faktor- Faktor Keberagamaan
Robert H. Thouless mengemukakan empat faktor keberagamaan yang dimasukkan dalam kelompok utama, yaitu:
- Pengaruh- pengaruh sosial
- Berbagai pengalaman
- Kebutuhan
- Proses pemikiran
Factor sosial mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keberagamaan, yaitu: pendidikan orang tua, tradisi- tradisi sosial dan tekanan- tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan.
Faktor lain yang dianggap sebagai sumber keyakinan agama adalah kebutuhan- kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi secara sempurna, sehingga mengakibatkan terasa adanya kebutuhan akan kepuasan agama. Kebutuhan- kebutuhan tersebut dapat dikelompokkan dalam empat bagian, antara lain kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan cinta, kebutuhan untuk memperoleh harga diri dan kebutuhan yang timbul karena adanya kematian.
Faktor terakhir adalah pemikiran yang agaknya relevan untuk masa remaja, karena disadari bahwa masa remaja mulai kritis dalam menyikapi soal- soal keagamaan, terutama bagi mereka yang mempunyai keyakinan secara sadar dan bersikap terbuka. Mereka akan mengkritik guru agama mereka yang tidak rasional dalam menjelaskan ajaran- ajaran agama islam, khususnya bagi remaja yang selalu ingin tahu dengan pertanyaan- pertanyaan kritisnya. Meski demikian, sikap kritis remaja juga tidak menafikkan faktor- faktor lainnya, seperti faktor berbagai pengalaman.
AGAMA PADA MASA DEWASA DAN USIA LANJUT
A. Agama Pada Masa Dewasa
Lewiss Sherril, membagi masa dewasa sebagai berikut :
1. Pada masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan diambil dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
2. Masa dewasa tengah, sudah mulai menghadapi tantangan hidup sambil memantapkan tempat dan mengembangkan filsafat untuk mengolah kenyataan yang tidak disangka- sangka.
3. Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah “pasrah”. Pada masa ini, minat dan kegiatan kurang beragama.
B. Ciri- Ciri Sikap Keberagamaan Pada Masa Dewasa
Sejalan dengan tingkat perkembanagan usianya, sikap keberagamaan pada orang dewasa mempunyai ciri- ciri sebagai berikut:
• Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut- ikutan.
• Cenderung bersifat realis, sehingga norma- norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
• Bersikap positif terhadap ajaran dan norma- norma agama dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
• Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
• Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
• Bersikap lebih kritis tehadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran dan hati nurani.
• Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe- tipe kepribadian masing- masing.
• Terlihat adanya hubungan antara sikap dan keberagamaan dengan kehidupan sosial.
C. Agama Pada Usia Lanjut
Proses perkembangan manusia setelah dilahirkan secara fisiologis semakin lama menjadi lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka jaringan- jaringan dan sel- sel menjadi tua, sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia lanjut ini, biasanya dimulai pada usia 65 tahun. Pada usia lanjut ini, biasanya akan mengahadapi berbagai persoalan. Persoalan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan fisik berkurang, aktivitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan yang menyebebkan mereka kehilangan semangat. Pengaruh dari semua itu, mereka yang berada dalam usia lanjut merasa dirinya sudah tidak berharga lagi.
D. Ciri- Ciri Keagamaan Pada Usia Lanjut
Secara garis besar ciri- ciri keberagamaan di usia lanjut adalah:
1. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2. Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3. Mulai muncul pengakuan terhadap relitas tentang kehidupan akherat secara lebih sungguh- sungguh.
4. Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antara sesama manusia serta sifat- sifat luhur.
5. Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.
6. Perasaan takut pada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akherat).
E. Kematangan Beragama
Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya.
Pada dasarnya terdapat dua factor yang menyebabkan adanya hambatan:
1. Faktor diri sendiri
faktor dari dalam diri sendiri terbagi menjadi dua: kapasitas diri dan pengalaman. Kapasitas ini berupa kemampuan ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran- ajaran itu telihat perbedaanya antara seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Bagi mereka yang mampu menerima dengan rasionya, akan menghayati dan kemudian mengemalkan ajaran- ajaran agama tersebut dengan baik, penuh keyakinan dan argumentatif, walaupun apa yang harus ia lakukan itu berbeda dengan tradisi yang mungkin sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan faktor pengalaman, semakin luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil dalam melakukan aktivitas keagamaan. Namun, bagi mereeka yang mempunyai pengalaman sedikit dan sempit, ia akan mengalami berbagai macam kesulitan dan akan selalu dihadapkan pada hambatan- hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara mantap.
2. faktor luar
Yang dimaksud dengan faktor luar, yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang. Faktor- faktor tersebut antara lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima.
Berkaitan dengan sikap keberagamaan, William Starbuck sebagaimana dipaparkan kembali oleh William James, mengemukakan dua buah faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan seseorang, yaitu:
1. Faktor intern, terdiri dari:
a. Temperamen
Tingkah laku yang didasarkan pada temperamen tertentu memegang peranan penting dalam sikap beragama seseorang.
b. Gangguan jiwa
Orang yang menderita gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya.
c. Konflik dan keraguan
Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama, seperti taat, fanatic, agnotis maupun ateis.
d. Jauh dari tuhan
Orang yang hidupnya jauh dari tuhan akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan hidup, terutama saat menghadapi musibah.
2. Faktor ekstern yang mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak adalah:
a. Musibah
Seringkali musibah yang sangat serius dapat mengguncangkan seseorang, dan kegoncangan tersebut seringkali memunculkan kesadaran keberagamaannya. Mereka merasa mendapatkan peringatan dari tuhan.
b. Kejahatan
Mereka yang hidup dalam lembah hitam umumnya mengalami guncangan batin dan rasa berdosa. Perasaan tersebut mereka tutupi dengan perbuatan yang bersifat kompensatif, seperti melupakan sejenak dengan berfoya- foya dan sebagainya. Tidak jarang pula melakukan pelampiasan dengan tindakan brutal, pemarah dan sebagainya.
Adapun ciri- ciri orang yang sehat jiwanya dalam menjalankan agama antara lain:
1. Optimisme dan gembira.
2. Ekstrovert dan tidak mendalam.
3. Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal.
Dengan mengetahui psikologi perkembangan keagamaan pada anak-anak sampai dewasa bahkan sampai usia lanjut, merupakan suatu langkah yang sangat tepat guna menyusun strategi-strategi pengajaran agama islam yang sesuai dengan obyek. Sehingga memungkinkan ajaran agama dapat diserap peserta didik dengan baik.
Kepustakaan
Dalyono, M. 1997. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN MANUSIA
Dalam pribadi manusia , baik jasmaniah maupun rohaniah, terdapat dua bagian yang berbeda sebagai kondisi yang menjadikan pribadi manusia berubah menuju kearah kesempurnaan. Dua bagian kondisional manusia itu meliputi : bagian material yang kuantitatif dan bagian pribadi fungsional yang kualitatif. Kenyataan itulah yang melahirkan perbedaan konsep antara pertumbuhan dan perkembangan.
Bagian pribadi yang kuantitatif mengalami pertumbuhan sedangkan bagian pribadi fungsional yang kualitatif mengalami perkembangan. Pertumbuhan dapat diartikan sebagai perubahan kuantitatif pada materiil sesuatu sebagai akibat dari adanya pengaruh lingkungan. Perubahan kuantitatif dapat berupa pembesaran atau pertambahan dari tida ada menjadi ada, dari kecil menjadi besar, dari sedikit menjadi banyak, dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa pertumbuhan itu hanya berlaku pada hal-hal yang bersifat kuantitatif, karena tidak selamanya materiil itu kuantitatif. Materiil dapat terdiri dari bahan-bahan kuantitatif seperti atom, sel kromosom, rambut, molekul, dan lain-lain. Dapat pula materiil terdiri dari bahan-bahan kualitatif seperti kesan, keinginan, ide, gagasan, pengetahuan, nilai, dan lain-lain. Jadi materiil itu dapat terdiri dari kualitas ataupun kuantitas. Kenyataan inilah yang barangkali membuat orang mengalami kesulitan dalam membedakan antara pertumbuhan dan perkembangan. Salah satu kelengahan orang adalah yang menyebut perumbuhan materiil kualitatif sebagai perkembangan.
Pertumbuhan dinyatakan dalam bentuk perubahan-perubahan yang terjadi pada bagian-bagian materiil, akan tetapi pertumbuhan itu sendiri mempunyai sifat kesatuan dan keumuman, dalam hal ini suatu organisme.
Peristiwa Pertumbuhan Manusia
Manusia terbentuk dari material genetis. Pertumbuah genetis manusia tidak jauh berbeda dengan pertumbuhan genetis pada hewan, karena keduanya merupakan organism. Setiap organism tumbuh dan dari keadaan sederhana dengan satu sel tunggal menjadi banyak sel dan membentuk organism yang bersusunan sangat kompleks. Pertumbuhan pada masing-masing individu dealam segiproses terdapat hal umum yang sama, tetapi dalam hal-hal yang khusus belum tentu sama.
Manusia secara genetis terjadi dari satu sperma dan satu telur. Satu sperma memasuki telur dan satu individu baru mulai membentuk diri. Kehidupan awal dari individu sanagt dipengaruhi oleh kondisi ibu, sedangkan peranan ayah dalam menumbuhkan individu baru hanyalah memberikan kemungkinan yang tepat agar individu terkonsep. Apapun yang diturunkan seorang ayah kepada anaknya adalah berupa sifat-sifat yang terkandung didalam satu sperma yang terbuahkan.
Sperma mempunyai bentuk menyerupai bulatan kepala dan berekor panjang, dengan ekornya itu sperma-soerma bergerak dan berenag cepat mencari sasarannya. Dalam satu sperma yang kecil itu terkandung benda-benda yang teramat kecil sejumlah dua puluh empat yang disebut kromosom. Ketika berjuta-juta sperma berenang memasuki rahim ibu, maka hanya satu diantara yang dapat sampai kesasaran. Ketika sperma menembus dan memasuki telur, kepalanya mulai membuka dan mensenyawakan dua puluh empat kromosom yang tadinya terbungkus itu. Berat sebuah telur manusia diperkirakan sekitar seperjuta gram. Didalam telur berisikan bahan-bahan makanan yang disebut nucleus. Dalam waktu yang hampir bersamaan nucleus dalam telur pecah dan melepaskan pula dua puluh empat kromosomnya sebagai sumbangan dari pihak ibu untuk membentuk seorang anak.
Dengan demikian, individu baru mulai terbentuk dari empat puluh delapan kromosom setiap kromosom mempunyai bentuk dan sifat yang berbeda-beda. Dua puluh empat kromosom dari ayah dan dua puluh empat kromosom dari ibu, masing masing berpasangan dalam indung telur. Dua puluh empat kromosom inilah penentu turunan pisik dari kehidupan pribadi manusia. Pertumbuahn berlanjut terus dengan adanya proses division dan redivision ( pembagian sel dan pembelahan kembali pada sel-sel ). Pembelahan dan perpasangan kromosom – kromosom menyerupai rangkaian mata rantai membentuk seperti halnya per yang semakin lama semakin merapat. Pada saat – saat tertentu, rapatan kromosom ini membentuk butiran-butiran yang menyerupai embun yang disebut beads.
Beads berisikan genes, dan sejauh ilmu pengetahuan, genes tersebut merupakan factor penentu hereditas. Setiap genes mempunyai fungsi tertentu dalam pertumbuhan manusia.
Setelah itu semua , maka telur mejadi masak dan masuklah saraf dari pihak ibu. Sel-sel tidak lagi tinggal bersama-sama. Tatkala jumlah sela masih terbatas, sel-sel itu mulai mengadakan specializing, yaitu beberapa menjadi sel-sel tulang, sebagian menjadi sel-sel kulit, sebagian menjadi sel-sel daging, sebagian menjadi sel-sel otak, sebagian menjadi sel-sel otot dan sebagainya. Semua sel yang telah terspesialisasi ini tumbuh terus dan membentuk berbagai bagian dalam tubuh masnusia.
Diantara semua sel tersebut adas ejumlah sel tertentu dicadangkan untuk fungsi lain. Sel-sel itu adalah sel-sel germ yang terambil dari sperma dan telur yang akan berfungsi sebagai bahan pembenihan. Apabila proses ini terjadi pada anak laki-laki, maka bahan inilah yang memproduksi sperma. Apabila proses ini terjadi pada perempuan maka bahan inilah yang memproduksi telur-telur dalam kandungan. Produksi benih tersebut akan tampak nayata ketika anak menginjak pubertas.proses produksi berlangsung terus sepanjang hidup atau hampir sepanjang hidup manusia.
Tidak semua aspek pribadi manusia diwarisi dari orang tuanya. Hal-hal yang tidak diwariskan meliputi beberapa aspek, baik materiil pertumbuhan maupun mental. Dari sifat-sifat genes yang dimiliki, individu dapat saja menjadi orang yang pemurung, periang, pendiam, lamban, ataupun cerdas. Akan tetapi keadaan-keadaan fisik dan mental seperti misalnya penyakit, kelelahan, kemiskinan, kegagalan atau kemalasan adalah tidak diwariskan, melainkan diperoleh dari pendidikan. Perelngkapan mental setiap individu sejak lahir adalah sama seperti halnya pada orang dewasa, begitu pula perlengkapan fisik.
Kesamaan meteriil herediter dapat melahirkan individu-individu yang berbeda dala penampakan fisis. Hal inipun belum tentu disebabkan oleh factor hereditas, tetapi karena perbedaan kondisi pertumbuhan dalam tubuh ibu-ibu yang melahirkannya. Dengan demikian, pertumbuhan itu dipengaruhi, baik oleh hereditas maupun lingkungan.
Hukum-hukum yang Mempengaruhi Pertumbuhan
a) Pertumbuah adalah kuantitatif serta kualitatif
b) Pertumbuhan merupakan suatu proses yang berkesinambugan dan teratur
c) Tempo pertumbuhan tidak sama
d) Taraf perkembangan berbagai asapek pertumbuhan adalah berbeda-beda
e) Kecepatan serta pola pertumbuhan dapat dimodifikasi oleh kondisi-kondisi di dalam dan di luar badan
f) Masing-masing individu tumbuh menurut caranya sendiri yang unik
g) Pertumbuahn kompleks, dan semua aspeknya saling berhubungan
Aspek Aspek yang Mempengaruhi Pertumbuhan
1) Anak sebagai keseluruhan
2) Umur mental anak mempengaruhi pertumbuhan
3) Permasalah tingkah laku sering berhubungan dengan pola-pola pertumbuhan
4) Penyesuaian pribadi dan sosial mencerminkan dinamika pertumbuhan
PERKEMBANGAN
Perkembangan merupakan suatu perubahan, dan perubahan ini tidak bersifat kuantitatif melainkan kualitatif. Perkembangan tidak ditekankan pada segi materi, melainkan pada segi fungsional. Dari uraian ini, perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan kualitatif dari fungsi-fungsi.
Perkembangan pribadi merupakan perubahan kualitatif dari segi fungsi kepribadian akibat dari pertumbuhan dan belajar.
Fungsi-funsi kepribadian manusia berhubungan dengan aspek jasmaniah dan aspek kejiwaan. Fungsi kepribadian yang jasmaniah mislanya :
1) fungsi motorik pada bagian-bagian tubuh
2) fungsi sensoris pada alat-alat indra
3) fungsi motorik pada sistem saraf
4) fungsi seksual pada bagian-bagian tubuh yang erotis
5) fungsi pernapasan pada alat pernafasan
6) fungsi peredaran darah pada jantung dan urat-urat nadi
7) fungsi pencernaan makanan pada alat pencernaan
Sedangkan fungsi-fungsi kepribadian yang bersifat kejiawaan misalnya : fungsi perhatian, pengamatan, tanggapan, ingatan, fantasi, pikiran, fungsi perasaan, fungsi kemauan. Setiap fungsi ini, baik jasmaniah maupun yang kejiwaan, dapat mengalami perubahan. Perubahan pada fungsi-fungsi tersebut tidak kuantitatif, melainkan kualitatif.
Hukum-hukum Perkembangan
Perkembangan ridak dapat dipisahkan dari pertumbuhan. Pertumbuhan sesuatu materi jasmani dapat menumbuhkan fungsi dan bahkan perubahan fungsi pada materi jasmaniah itu. Perubahan fungsi pada jasmaniah dapat mengahsilkan kematangan atas fungsi itu. Kematangan fungsi-fungsi jasmaniah sangat mempengaruhi perubahan pada fungsi-fungsi kejiwaan.
Adapaun hukum-hukum dalam perkembangan adalah sebgai berikut :
1) Perkembangan adalah kualitatif
2) Perkembangan sangat dipengaruhi oleh proses dan hasil dari belajar
3) Usia ikut mempengaruhi perkembangan
4) Masing-masing individu mempunyai tempo perkembangan yang berbeda-beda
5) Dalam keseluruhan periode perkembangan, setiap spisies perkembangan individu mengikuti pola umum yang sama
6) Perkembangan dipengaruhi hereditas dan lingkungan
7) Perkembangan yang lambat dapat dipercepat
8) Perkembangan meliputi proses individuasi dan integrasi
Tahap tahap Perkembangan Pribadi Manusia
1) Tahap perkembangan fisiologis
Menurut Sigmund Freud, berpendapat bahwa pribadi manusia mengalami perkembangan dengan dinamika yang stabil sejak manusia dilahirkan sampai usia 20 tahun, perkembangan ini menentukan pembentukan pribadi seseorang.
Freud mengemukakan adanya 6 tahap perkembangan fisiologis manusia yang meliputi :
a) Tahap oral ( umur 0-1 tahun). Dalam tahp ini mulut bayi merupakan daerah utama dari aktifitas yang dinamis
b) Tahap anal ( 1-3 tahun ). Dalam tahap ini , dorongan dan aktifitas gerak individu lebih banyak terpusat pada fungsi pembuangan kotoran.
c) Tahap falish ( 3-5 tahun ). Alat alat kelamin merupakan daerah perhatian yang penting, dan pendorong aktifitas.
d) Tahap latent ( 5-12 tahun ). Dorongan-dorongan aktifitas dan pertumbuhan cenderung bertahan dan sepertinya istirahat dalam arti tidak meningkatkan pertumbuhan.
e) Tahap pubertas ( 12/13-20 tahun ). Dorongan-dorongan aktif kembali, kelenjar-kelenjar indoktrin tumbuh pesat dan berfungsi mempercepat pertumbuhan kearah kematangan.
f) Tahap genital ( setelah 20 tahun dan seterusnya ) pertumbuhan genital merupakan dorongan penting bagi tingkah laku seseorang.
2) Tahap perkembanagn psikologis
Perkembangan psikologis pribadi manusia dimulai sejak bayi hingga masa dewasa. Menurut Jean Jacques Rousseau, perkembangan fungsi dan kapasityas kejiwaan manusia berlangsuang dalam lima tahap :
a) Tahap perkembanagn masa bayi( sejak lahir-2 tahun). Dalam tahap ini perkembangan pribadi didominasai oleh perasaan.
b) Tahap perkembangan masa kanak-kanak ( 2-12 tahun) perkembanagn pribadi anak dimulai dengan makain berkembangnya fungsi –fungsi indra untuk mengadakan pengamatan.
c) Tahap perkembangan pada masa preadolesen (12-15 tahun). Pada tahap ini penalaran intelektual anak sangat dominan.
d) Perkembangan pada masa adolsen ( 15-20 tahun) dalam tahap ini, kualitas hidup manusia diwarnai oleh dorongan sekssual yang kuat.
e) Masa pematangan diri ( setelah umur 20 tahun). Dalam tahap ini, perkembanagn fungsi kehendak mulai dominan.
Tahap Perkembangan Secara Pedagogis
Tahap-tahp perkembangan pribadi manusia secara pedagogis dapat dikemukakan menurut dua sudut tinjauan, yaitu dari sudut tinjauan teknis umum penyelenggaraan pendidikan dan dari sudut tinjauan teknis khusus perlakuan pendidikan. Mengenai pentahapan perkembangan pribadi manusia dari sudut tinjauan teknis umum penyelenggaraan pendidikan, Hohn Amos Comenius (1952) menegnai perkembangan pribadi manusia yang terdiri atas 5 tahap, yaitu :
a) Tahap enam tahun pertama, tahap perkemabangan fungsi pengideraan yang memungkinkan anak mulai mampu untuk mengenal lingkungannya.
b) Tahap enam tahun kedua: tahap perkembangan fungsi ingatan dan imajinasi individu yang memungkinkan anak mulai mampu menguanakan fungsi intelektual dalam usaha mengenal dan menganalisis lingkungannya.
c) Tahap enam tahun ketiga : tahap perkembangan fungsi intelektual yang memungkinkan anak mulai mampu mengevaluasi sifat-sifat serta menemukan hubungan-hubungan antar variable didalam lingkungannya.
d) Tahap enam tahun keemapat: tahap kemampuan fungsi berdikari, self direction dan self controle
e) Tahap kematangan pribadi : tahap dimana intelek memimpin perkembangan semua aspek kepribadian menuju kematangan pribadi dimana manusia berkemampuan mengasihi Allah dan sesama manusia.
Pada umumnya teori mengenai perkembangan berkisar kepada persoalan yang berhubungan dengan pengaruh pembawaan dan lingkungan.
1) Teori Nativisme
Menurut teori ini anak sejak lahir membawa sifat-sifat dan dasar-dasar tertentu, sifat-sifat dan dasar-dasar yang dibawa sejak lahir itu dinamakan sifat-sifat pembawaan.
2) Teori Empirisme
Menurut teori ini manusia tidak memiliki pembawaan. Seluruh perkembangan hidupnya sejak lahir samapai dewasa semata-mata ditentukan oleh faktor dari luar atau faktor lingkungan hidup pendidikan.
3) Teori Naturalisme
Teori Naturalism berasal dari Rousseau, manusia pada dasarnya baik, ia jadi buruk dan jahat karena pengaruh kebudayaan. Maka dari itu Rousseu menganjurkan supaya kembali kepada alam dan menjauhkan diri dari kebudayaan. Pendidikan yang baik ialah memberi kebebasan kepada anak berkembang menurut kodrat yang baik itu. Dalam pendidikan guru tidak boleh menghukum, tetapi hukuman harus diberikan oleh alam sendiri.
4) Teori Rekapitulasi
Teori rekapitulasi mengatakan bahwa perkembangan individu merup[akan ulanagan dari perkembangan jenisnya. Berdasarkan teori rekapitulasi pertumbuhan anak dapat dibagi menjadi lima fase :
a) Masa berburu atau masa penyamun. Masa ini berakir pada umur 8 tahun.
b) Masa pengembala.
c) Masa petani. Berlangsung dari umur 10 tahun sampai 12 tahun
d) Masa pedagang. Berlangsung dari umur 12 tahun samapai 18 tahun.
e) Masa industri. Masa industri timbul pada umur 14 tahun
5) Teori konvergensi
Teori konvergensi berpendapat bahwa manusia dalam perkembangan hidupnya dipengaruhi oleh bakat/ perwatakan dan lingkungan, atau oleh dasar dan ajar. Manusia lahir telah membawa benih-benih tertentu , benih-benih dimana baru biasa tumbuh berkembang karena penagruh lingkungan. Dengan demikian, perkembangan benih itu tergantungpada lingkungannya. Usaha pendidikan yang harus dilakukannya ialah menguasahakan agar benih-benih yang baik dapat berkembang sampai batas maksimum dan perkembangan benih-benih yang jelek direm dan ditekan sekuat mungkin sehingga benih yang jelek itu tidak tumbuh.
REFERENSI
Dalyono, M. 1997. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta