Sabtu, 03 Oktober 2009

Takhrij Hadis : Apabila seseorng meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga …

I. Bunyi Teks Hadis dan Terjemahanannya

Adapun bunyi hadis masing-masing secara lengkap adalah sebagai berikut:

1. حدثنا أبو الربيع قال: حدثنا إسماعيل بن جعفر قال: أخبرنا العلاء عن أبيه عن أبى هريرة أن رسول الله صلى الله

عليه و سلم قال: "إذا مات العبد إنقطع عنه عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له" (رواه البخارى فى الادب المفرد ,ص 25, رقم: 38)

Kami (al-Bukhariy diberitahu oleh Abu al-Rabi’: dia mengatakan : kami diberitahu oleh Ismail bin Ja’far, dia mengatakan: kami diberitahu oleh al-‘Ala dari bapaknya dari Abu Hurairah r.a. bahwa bahwa rasulullah saw. bersabda: “Apabila seorang hamba me-ninggal dunia, maka terputuslah darinya amalnya kecuali dari tiga hal, yakni sadaqah jariyah, atau ilmu yang diambil manfaatnya, atau anak saleh yang mendoakannya”. (HR. Al-Bukhari di dalam kitab al-Adab al-Mufrad hadis no. 38).

2. حدثنا يحي بن أيّوب و قتيبة (يعنى ابن سعيد) و ابن حجر قالوا: حدثنا إسماعيل (هو ابن جعفر) عن العلاء عن أبيه عن أبى هريرة:

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: "إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة: إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له (رواه مسلم فى صحيحه ج 2, ص 70, رقم 14 (1631)

Kami (Muslim) diberitahu oleh Yahya bin Ayyub dan Qutaibah (yakni Ibn Sa’id) ser-ta Ibn Hujr, mereka berkata: “Kami diberitahu oleh Isma’il (yakni Ibn Ja’far), dari al-‘Ala` dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa rasulullah saw. bersabda: “Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputuslah darinya amalnya kecuali dari tiga, yakni kecuali sedekah jariyah, atau ilmu yang diambil manfaatnya, atau anak saleh yang mendoakannya”. (HR Muslim di dalam shahihnya juz 2 hal. 70 hadis no. 1631).

3. حدثنا الربيع بن سليمان ثنا ابن وهب عن سليمان – يعنى اين يلال – عن العلاء بن عبد الرحمن أره عن أبيه عن أبى هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: "إذا مان الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة أشياء: من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له" (رواه أبو داود فى سننه ج 3, ص 117, رقم: 2880)

Kami (Abu Dawud) diberitahu oleh Al-Rabi’ bin Sulaiman al-Muadzzin, kami diberi-tahu oleh Ibn Wahab dari Sulaiman, yakni Ibn Bilal, dari al-‘Ala` bin Abd al-Rah-man, saya lihat dari bapaknya, dari Abu Hurairah bahwa rasulullah saw. bersabda: “Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputuslah darinya amalnya kecuali tiga hal, yakni sedekah jariyah, atau ilmu yang diambil manfaatnya, atau anak saleh yang mendoakannya”. (HR. Abu Dawud di dalam Sunannya juz 3 halaman 117 hadis no. 2880).

4. حدثنا على ابن حجر, أخبرنا إسماعيل ابن جعفر, عن العلاء ابن عبد الرحمن عن أبيه عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: "إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية و علم ينتفع به و ولد صالح يدعو له (رواه الترمذى فى سننه ج 3, ص 88, رقم 1381 و قال أبو عيسى: هذا حديث حسن صحيح)

Kami (Al-Tirmidzi) diberitahu oleh ‘Ali bin Hujr, kami diberi kahbar oleh Isma’il bin Ja’far dari al-‘Ala` bin ‘Abd al-Rahman dari bapaknya dari Abu Hurairah8 bahwa rasulullah saw. bersabda: “Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputuslah da-rinya amalnya kecuali tiga hal, yakni sedekah jariyah dan ilmu yang diambil man-faatnya dan anak saleh yang mendoakannya”. (HR.Al-Tirmidzi di dalam Sunannya juz 3 halaman 88 hadis no. 1381, dan Abu ‘Isa (Al-Tirmidzi) berkata bahwa ini ada-lah hadis hasan shahih(

5. أخبرنا على بن حجر قال حدثنا إسماعيل قال حدثنا العلاء عن أبيه عن أبى هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: "إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاثة من صدقة جارية و علم ينتفع به و ولد صالح يدعو له (رواه النسائى فى سننه ج 6, ص 251)

Kami (Al-Nasai) diberi khabar oleh ‘Ali bin Hujr, dia berkata: “Kami diberitahu oleh Isma’il, dia berkata: “Kami diberitahu oleh Al-‘Ala` dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa rasulullah saw. bersabda: “Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga hal, yakni sedekah jariyah dan ilmu yang diambil manfaatnya serta anak saleh yang mendoakannya”. (HR. Al-Nasai di dalam Sunannya juz 6 halaman 251)

6. حدثنا عبد الله حدثني أبى حدثنا سليمان بن داود حدثما إسماعيل أنبأنا العلاء عن أبيه عن أبي هريرة أن النبى صالى الله عليه و سلم قال: "إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة, إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له (رواه أحمد فى مسنده ج 2, ص 372)

Kami (penyalin kitab Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal) diberitahu oleh Abd Allah, aku diberitahu oleh bapakku, kami diberitahu oleh Sulaiman bin Dawud, kami diberitahu oleh Isma’il, telah bercerita kepada kami Al-‘Ala` dari bapaknya, dari Abu Hurairah bahwa nabi saw. bersabda: “Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputuslah darinya amalnya kecuali tiga hal, yakni kecuali sedekah jariyah, atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak saleh yang mendoakannya”. (HR. Ahmad di dalam Musnadnya juz 2 halaman 372).

7. إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له (خد م 3 عن أبي هريرة (ض)

“Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali dari tiga, yakni sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak saleh yang mendoakannya” (HR. Bukhari dalam al-Adab, Muslim, Abu Dawud, Al-Nasai dan Ak-Tirmidzi) (Lemah/dha’if menurut penilaian Jalal al-Din al-Suyuthi) dari Abu Hu-rairah. Lihat kitab Al-Jami’ al-Shaghir halaman 35).

II. Kualitas Sanad

Penelitian sanad untuk mengetahui kualitasnya merupakan tahap awal untuk mengetahui apakah perlu mencurigai matan (isi) hadis atau kemungkinan untuk menerimanya. Kaidah yang dipakai dalam meneliti sanad di sini adalah al-Jarh muqaddam ‘ala al-ta’dil (mencacat didahulukan atas anggapan adil/pujian), bukan sebaliknya, al-Ta’dil muqaddam ‘ala al-Jarh (anggapan adil didahulukan atas mencacat), karena jika ini yang dipakai, maka akan banyak ajaran-ajaran palsu yang bercampur dengan wahyu. Yang pada gilirannya akan memperkeruh ajaran yang sesungguhnya dari Tuhan.

Matan hadis yang mengandung pengertian bahwa apabila sesesorang meninggal dunia, maka terputuslah (darinya) amalnya kecuali tiga hal, yaitu amal jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya dan anak saleh yang mendoakannya, yang dalam redaksinya disabdakan oleh nabi saw. dan diterima oleh Abu Hurairah, kemudian oleh ‘Abd al-Rahman (Bapak al-‘Ala`), kemudian oleh al-‘Ala`, kemudian oleh Sulaiman bin Bilal dan Isma’il, dari Sulaiman diterima oleh Ibn Wahab, kemudian oleh AL-Rabi’ bin Sulaiman al-Muadzzin dan akhirnya sampailah kepada Abu Dawud.

Sedangkan dari Isma’il, lalu diterima oleh:

(1) Qutaibah bin Sa’id dan akhirnya oleh Muslim.

(2) Yahya bin Ayyub dan akhirnya oleh Muslim

(3) ‘Ali bin Hujr dan akhirnya oleh Muslim, Al-Nasai dan Al-Tirmidzi

(4) Sulaiman bin Dawud, dan akhirnya oleh Ahmad.

(5) Abu al-Rabi’, dan akhirnya oleh al-Bukhariy.

Penelitian ini berangkat dari ketidakpuasan peneliti terhadap penilaian Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakar al-Suyuthi terhadap hadis yang dirawayatkan oleh Bukhari-Muslim-Abu Dawud,al-Nasai, al-Tirmidzi dan Ahmad tersebut sebagai hadis yang dla’if atau lemah (Lihat kitab al-Jami’ al-Saghir halaman 35). Keenam perawi matan hadis tersebut, yakni Al-Bukhari-Muslim-Abu Dawud-Al-Nasai-Al-Tirmidzi dan Ahmad, menerimanya dari sanad terakhir, yakni Abu Hurairah. Perawi hadis tersebut melewati dua sanad yang cacat, yakni (1) Al-’Ala`, karena dinilai dla’if oleh Yahya, dinilai tidak kuat oleh Ibn ‘Adiy, hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah menurut penilaian Yahya bin Ma’in, dan juga dikatakan tidak kuat oleh Ibn ‘Adiy,[1] dan (2) Bapaknya (Abd Al-Rahman, nama lengkapnya adalah ‘Abd al-Rahman bin Ibrahim al-Qashsh) yang didha’ifkan/dilemahkan oleh Al-Daraquthni dan Al-Nasai menilainya tidak kuat.[2] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis idza mata al-insan/al-a’bd…, ditinjau dari segi kualitas sanadnya, adalah dla’if atau lemah. Adapun ditinjau dari segi matan atau kandungan nya, maka dapatlah dijelaskan sebagai berikut.

III. Kualitas Matan

Maksud hadis diatas adalah bahwa orang yang telah meninggal dunia terputus amalnya atau, lebih tepatnya, pahala amalnya kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, dan anak saleh yang mendoakannya. Dalam hadis tersebut ada keanehan dan mengandung kontradiksi terhadap ayat al-Quran dan hadis saheh. Keanehan itu adalah pengecualian amal dengan pahala. Seharusnya pengecualian amal itu dengan amal juga. Pengecualian amal dengan pahala tidak dapat diterima karena pahala itu ada karena amal. Semua orang memahami bahwa orang yang telah meninggal dunia tentu tidak dapat beramal sama sekali dan belum ada dalam sejarah orang mati lalu beramal lagi. Pengecualian amal apapun dari orang yang telah mati atau meninggal dunia tidaklah dapat diterima karena tidak pernah ada bukti yang menunjukkan kebolehannya.

Kalau yang dikecualikan itu pahalanya, bukan amalnya, juga aneh karena bertentangan dengan ayat al-Quran dan hadis-hadis saheh. Jika hadis itu benar, maka pahala selain dari tiga hal yang disebutkan di dalam hadis tersebut tidak dapat diperoleh oleh si mati. Jika hadis ini diterima, maka tidak ada artinya menyalatkan jenazah yang bukan orang tuanya, padahal rasulullah s.a.w. menyalatkan jenazah sahabat-sahabatnya dan menyalatkan jenazah seorang muslim masih terus menjadi kebiasaan hingga sekarang.

Terputus amal karena kematian adalah wajar tetapi kemampuan untuk menerima atau terpengaruh oleh amal orang yang masih hidup tidaklah terputus. Seandainya orang yang telah meninggal dunia, atau orang yang masih hidup, tidak dapat terpengaruh oleh amal orang yang masih hidup lainnya yang ditujukan kepadanya sebagaimana telah dituntunkan al-Quran dan al-Hadis, maka tidak perlu dianjurkan untuk melakukan istighfar kepada Allah untuk orang yang telah meninggal dunia, bahkan juga untuk orang yang masih hidup. Allah berfirman:

فاعلم أنه لآ إله إلا الله و استغفر لذنبك و للمؤمنين و المؤمنات والله يعلم متقلبكم و مثوكم (47: محمد: 19)

Maka ketahuilah bahwasanya tiada Tuhan sesembahan kecuali Allah dan mohonkanlah ampunan (kepada-Nya) bagi dosamu, dan dosa orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Allah mengetahui gerak-gerik kamu dan tempat tinggal kamu. (47 Muhammad: 19). Ayat tersebut mengandung dua kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia, yaitu (1) kewajiban mengetahui bahwa tiada Tuhan sesembahan selain Allah, dan (2) kewajiban memohonkan ampunan bagi dosa dirinya dan dosa-dosa orang-orang yang beriman lainnya. Oleh karena itu, Allah mengajarkan bagaimana cara memohonkan ampunan untuk orang lain meskipun, baik orang tuanya maupun bukan orang tuanya. Allah berfirman:

و الذين جاؤا من بعدهم يقولون: "ربنا اغفر لنا و لإخواننا الذين سبقونا بالإيمان و لا تجعل فى قلوبنا غلا للذين ءامنوا ربنا إنك رءوف رحيم" (59 الحشر: 10)

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan: “Ya Tuhan kami! Ampunilah dosa-dosa kami dan dosa-dosa saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan membawa iman. (59 al-Hasyr: 10). Saudara-sadara kami adalah saudara-saudara seiman, bukan hanya sauara kandung (yang seiman).

Hadis shahih juga menunjukkan bahwa orang mukmin yang telah meninggal dunia dapat terpengaruh secara positif oleh perbuatan orang yang masih hidup, misalnya sabda rasulullah s.a.w. yang menyatakan bahwa dua orang yang disiksa di dalam kubur bukan karena dosa besar…lalu beliau menanam dahan pohon yang akan memohonkan ampunan selama ia belum kering. Juga hadis tentang shalat jenazah yang tidak hanya dilakukan oleh anak saja tetapi juga oleh banyak orang yang tidak terkait dengan kekerabatan. Hadis-hadis semacam itu, seperti hadis menghajikan orang lain yang terkenal dengan dengan hadis Syibirmah/Syuburmah, hadis membayar hutang orang yang telah meninggal dunia, amat popular sebagai hujjah yang diamalkan secara terus menerus oleh umat Islam. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dunia, jika dia sorang muslim, akan dapat terpengaruh secara positif oleh perbuatan orang yang masih hidup karena jika tidak demikian, maka ayat-ayat dan hadis-hadis yang saheh akan ditinggalkan. Di sini disebutkan satu hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhariy dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas. Adapun selengkapnya adalah sebagai berikut:

حدثنا عبد الله بن يوسف أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن سليمان ابن يسار عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما: كان الفضل رديف رسول الله صلى الله عليه و سلم فجاءت امرأة من خثعم فجعل الفضل ينظر إليها و تنظر إليه و جعل النبيّ صلى الله عليه و سلم يصرف وجه الفضل إلى الشق الأخر فقالت: يا رسول ا لله, إن فريضة الله على عباده فى الحجّ أدركت أبى شيخا كبيرا لا يثبت على الراحلة أفأحجّ عنه؟ قال: "نعم" و ذلك فى حج الوداع (رواه البخاري فى صحيحه ج 1 فى باب وجوب الحج و فضله و مسلم)

Al-Bukhariy berkata: kami diberitahu oleh Abdullah bin Yusuf, telah memberitahu kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Sulaiman Ibnu Yasar dari Abdullah bin’Abbas r.a., (dia berkata): Al-Fadhal membonceng pada rasulullah s.a.w. Tiba-tiba datanglah seorang wanita dari suku Khats’am sehingga Al-Fadhal melihat kepadanya dan diapun melihatnya dan (oleh karenanya) nabi s.a.w. memalingkan wajah Al-Fadhal ke sebelah yang lain, kemudian wanita itu bertanya: “Wahai rasulullah, sesunguhnya kewajiban dari Allah terhadap hamba-hamba-Nya dalam masalah haji datang kepada ayahku dalam keadaan sudah tua sehingga dia tidak mampu bepergian, maka apakah aku boleh menghajikan atas nama dia? Beliau s.a.w. menjawab: “Boleh”. Yang demikian adalah pada haji wada’ (HR Al-Bukhariy di dalam Shahihnya dalam bab kewajiban haji dan keutamaannya, Juz 1, hlm. 589. dan juga diriwayatkan oleh Muslim).

IV. Kesimpulan

Dari tinjauan kualitas sanad maupun pemeriksaan terhadap matannya berdasarkan atas komentar para ahli hadis dan logika serta ayat-ayat al-Quran dan Hadis yang shahih, dapatlah disimpulkan bahwa hadis Abu Hurairah, yang diriwayatkan oleh enam perawi hadis sebagaimana tersebut di atas, yang menjadi pembahasan pokok dalam tulisan ini, tidak dapat dijadikan pegangan dalam beramal karena hadis tersebut terbukti lemah baik dari segi sanadnya maupun dari segi matannya. Kelemahan dari segi sanad karena terdapat dua orang sanad, yakni al-‘Ala’ dan Abd al-Rahman bin Ibrahim al-Qashsh, ayahnya, yang dinilai lemah oleh ahli al-Jarh wa al-Ta’dil, seperti Ibn ‘Adiy, Yahya bin Ma’in, al-Daraquthniy, al-Nasai. Sedangkan kelemahan dari segi matannya adalah karena ia bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran maupun hadis-hadis saheh lainnya. Kelemahan hadis tersebut bukan terletak pada bahwa ketiga hal tersebut baik dan boleh diamalkan tetapi terletak pada pembatasan hanya tiga hal itulah kekeliruannya karena terbukti selain ketiga hal itu dibolehkan menurut al-Quran dan hadis yang saheh, seperti istighfar untuk orang Islam yan bukan orang tuanya dan menghajikan orang tua yang tidak disebutkan dalam hadis tersebut tetapi disebutkan dalam hadis saheh yang lain. Wallahu a’lam!



[1] Lihat: al-Dzahabiy, Mizan al-I’tidal juz 3, hal. 102-103, no. 5735

[2] Ibid, Juz 2 hlm. 545, no. 4803.

KONTEKS DAN KONTEKSTUALISASI SURAT AL-FATIHAH



Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Rasulullah saw. apabila mendengar suara panggilan : “Hai Muhammad”, maka begitu beliau mendengarnya beliau terus lari, kemudian Waraqah bin Naufal menasehati beliau: “Apabila engkau mendengar suara panggilan, maka tetapkan lah hatimu sampai engkau mendengar apa yang dia ucapkan kepadamu” maka tatkala terdengar suara “Hai Muhammad”, jawablah “labaik(ya)” dan ucapkanlah : “aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah/Rosululloh; kemudian bacalah الحمد لله رب العالمين الرحن الرحيم ملك يوم الدين اياك نعبد و اياك نستعين اهدنا الصراط المستقيم صراط الذين انعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين (H.R.Abu Ishaq dan Abu Maesaroh dari Ali bib Abi Tholib)

Surat Al-Fatihah mengandung pokok-pokok tujuan Al-Qur’an secara ijmal (global), yang kemudian diperinci dengan berbagai keterangan di dalam ayat-ayat yang tersebut pada surat-surat berikutnya. Al-Qur’an mengandung masalah-masalah tauhid dan janji Allah bagi orang-oarng yang memegang teguh prinsip-prinsip tauhid berupa pahala yang baik, serta ancaman Allah bagi orang-orang yang ingkar dan tidak memperdulikan ajaran tauhid dengan siksa atau azab yang sangat pedih. Di dalam surat Al-Fatehah mencakup pula berbagai penjelasan.

بسم الله الرحمن الرحيم

(Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang).

Maksudnya: saya memulai membaca al-Fatihah ini dengan menyebut nama Allah. Setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma Allah, seperti makan, minum, menyembelih hewan dan sebagainya. Allah ialah nama Dzat yang Maha Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang membutuhkan-Nya. Ar-Rahmaan (Maha Pemurah): salah satu nama Allah yang memberi pengertian bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya, sedang Ar-Rahiim (Maha Penyayang) memberi pengertian bahwa Allah Senantiasa bersifat rahmah yang menyebabkan Dia selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.

Surat Al-Fatihah ini mengandung pokok-pokok tujuan Al-Qur`an secara global, kemudian diperinci dengan berbagai keterangan di dalam ayat-ayat yang tersebut pada surat-surat berikutnya. Perlu dijelaskan bahwa Al-Qur`an ini mengandung masalah-masalah tauhid dan janji Allah bagi orang -orang yang memegang teguh prinsip tauhid berupa pahala yang baik, serta ancaman bagi orang-orang yang ingkar dan tidak memperdulikan ajaran tauhid dengan siksa atau azab yang sangat pedih. Didalam surat Al-Fatihah pun tercakup perihal hamba-hamba Allah yang menambatkan ajaran atuhid di dalam hati dan jiwanya. Al-Fatihah mencakup pula berbagai penjelasan jalan kebahagiaan yang dapat menghantarkan hamba-hamba Allah mengecap kenikmatan dunia dan akhirat. Surat Al-Fatihah juga mengandung berbagai kisah yang menceritakan orang-orang yang mendapat petunjuk atau orang-orang yang berdiri diatas garis-garis Allah. Mereka itulah orang-orang yang hidup bahagia di dunia dan akhirat. Al-Fatihah juga memberitahukan orang–orang yang tersesat atau melanggar batasan-batasan yang ditentukan Allah dan mengesampingkan syari’at Allah berada dibelakang tanpa perhatian sama sekali.

. الحمد لله رب العالمين

(Segala puji bagi Allah. Tuhan semesta alam).

Firman tersebut menunjukkan bahwa segala puja dan puji itu diungkapakan karena akan membawa kenikmatan, yakni kenikmatan yang bersumber dari Allah swt. Karenanya hanya Allah-lah yang berhak menerima puja dan puji. Diantara nikmat-nikmat yang terpenting adalah nikmat wujud (diciptakan dan dipelihara).

الرحن الرحيم

( yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)

Dua kata ini berasal dari Rahman yang artinya suatu gejolak jiwa yang penuh dengan perasaan kasih sayang terhadap lainnya. Kemudian, kata ini dipakai untuk Allah. Berarti Allah bersifat Rahman dan Rahim. Kata Rahman pengertiannya menunjukkan pada dzat yang menunjukkan bukti-bukti rahmah berupa kenikmatan-kenikmatan dan kebajikan-kebajikan. Sedang kata Rahim, menunjukkan sumber rahmah, dan rahim menunjukkan sifat yang tetap ada pada Allah.

Apabila Allah disifati dengan sifat Rahman. Hal ini dipahamkan secara bahasa bahwa Allah itu adalah pemberi kenikmatan. Tetapi sifat Rahman ini tidak bisa dipahamkan wajib bagi Allah untuk selamanya. Tetapi jika setelah sifat Rahman itu Allah disifati dengan sifat Rahim, maka dapat diketahuai bahwa Allah mempunyai sifat yang tetap dan selamanya, yakni Rahim. Sebagai bukti kasih sayang yang berlaku selama-lamanya. Dengan demikian, menuturkan kata Rahim setelah Rahman merupakan bukti bahwa Allah selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada seluruh hamba secara tetap. Sebab sifat-sifat tersebut selalu mengiringi Allah selamanya.

Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya.

ملك يوم الدين

(yang menguasai hari pembalasan).

Pengertian hari pembalasan meliputi pahala bagi orang-orang yang berbuat baik, dan siksaan bagi orang-orang yang berbuat dosa dan kesalahan. Kandungan makna ibadah diungkapakan di dalam surat ini melalui firman Allah swt.

اياك نعبد و اياك نستعين

( hanya kepada Engkau-lah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan)

Ibadah adalah perasaan merendahkan diri yang lahir dari hati nurani, sebagai akibat perasaan mengagungkan yang disembah, disamping dengan keyakinan bahwa yang disembah itu mempunyai kekuasaan yang pada hakekatnya tidak bisa dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Sebab, kekuasaan Allah tidak bisa dijangkau oleh akal dan tidak bisa dianalisa oleh alam pemikiran. Siapapun yang merendahkan dirinya dihadapan sang raja, tidak bisa dikatakan bahwa ia adalah hamba raja tersebut lantaran perbuatan merendahkan diri itu sudah diketahui mempunyai latar belakang tertentu, yakni karena takut kelaliman raja, atau bahkan mengharapkan sesuatu dari raja.

Mengenai jalan kebahagiaan diungkapakan dalam ayat,

اهدنا الصراط المستقيم

( Tunjukkanlah kami jalan yang lurus).

Ayat tersebut mengandung pengertian bahwa kebahagiaan tidak mungkin dicapai kecuali harus menempuh jalan yang benar dan lurus. Dan siapapun yang menyimpang dari jalan yang lurus tersebut akan berakibat sengsara dan celaka. Hidayah artinya suatu pertanda yang dapat menghantarkan seseorang kepada hal yang dituju. Sirat berarti jalan. Mustaqim berarti lawan kata berbelok-belok, jalan yang bengkok adalah jalan yang menyelewengkan seseorang dari cita-cita yang dituju. Dan jalan ini harus dihindarkan dari orang-orang yang menghendaki jalan yang lurus dan benar.

Macam-macam hidayah

1. Hidayah dalam bentuk ilham.

2. Hidayah kepada akal, hidayah ini lebih tinggi derajatnya dibandingkan hidayah ilham dan panca indra.

3. Hidayah berupa agama dan syari`at, hidayah ini merupakan kebutuhan mutlak bagi orang yang menganggap remeh akal fikirannya, mengikuti kemauan hawa nafsunya, menundukkan jiwa untuk mengikuti kemauan syahwatnya.

Kandungan surat Al-Fatihah yang berkaitan dengan cerita-cerita dan berita-berita orang-orang terdahulu diungkapkan dalam ayat:

صراط الذين انعمت عليهم

( jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat –nikmat kepada mereka).

Ayat ini menceritakan bahwa dimasa yang lalu terdapat umat terdahulu yang mematuhi petunjuk-petunjuk, syari’at dan hukum-hukum Allah. Dan saat ini, kita pun berkewajiban mencontoh jejak-jejak mereka dan meniru perbuatan yang mereka lakukan.

Juga diungkapkan dalam ayat yang berbunyi:

غير المغضوب عليهم ولا الضالين

( bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan ( bukan pula ) jalan yang sesat).

Pengertian magdubi`alaihim ialah orang-orang yang telah menerima atau mendengar agama yang benar dan disyariatkan Alah untuk hamba-Nya, tetapi mereka menolak dan mengasingkan diri tanpa mau melihat sedikitpun. Mereka itu tidak mau menggunakan akalnya didalam meneliti dalil-dalil yang ada. Mereka adalah orang-orang yang akan tertimpa kesusahan, siksaan dan kehinaan di neraka jahannam, dan tempat kembali mereka adalah seburuk-buruknya tempat. Dallun, berarti mereka yang tidak mengetahui kebenaran. Atau tidak mengetahui dengan cara yang benar. Mereka itulah orang-orang yang belum pernah kedatangan rasul pun. Atau sudah pernah kedatangan seorang rasul, tetapi nilai-nilai yang dibawa para rasul itu kurang begitu jelas. Mereka tersesat dalam kebutaan , dan tidak mendapatkan hidayah didalam menggapai cita-cita mereka. Sebab banyak sekali rintangan yang bercampur-aduk antara kebenaran dan kebatilan, disamping masalah-masalah yang benar dan yang salah. Jika mereka tersesat didalam masalah-masalah duniawi, mereka pasti akan tersesat didalam masalah ukhrawi. Siapapun yang tidak mendapatkan hidayah agama, maka akan tampak pengaruh kegoncangan pada hal-hal yang berkaitan dengan kehidupannya, serta akan tertimpa musibah.

Ayat ini menunjukkan bahwa yang tidak menerima nikmat Allah terdiri dari dua kelompok. Pertama orang yang menyeleweng dari kebenaran setelah mereka mengetahui kebenaran itu, kelompok ini lebih suka terhadap warisan–warisan nenek moyang (leluhur). Kelompok ini termasuk yang mendapat murka Allah. kedua kelompok orang yang tidak mengetahui sama sekali, atau menetahui tetapi masih goyah, atau belum sempurna. Kelompok ini memandang hak dan bathil didalam kekaburan. Merka telah jauh dari jalan kebenaran yang dapat mengantarkan kebahagiaan. Mereka juga termasuk orang-orang sesat.

Ikhtisar

1. Surat ini menegaskan bahwa dengan sifat Rahman (Pemurah) Allah memberikan penghidupan kepada seluruh makhluk-Nya. Dan dengan sifat Rahim (Penyayang) Allah memberikan kasih sayang-Nya yang istimewa kepada orang-orang yang beriman dan taat kepada perintah-Nya

2. Allah menjelaskan bahwa segala puja dan puji hanya milik-Nya. Makhluk tidak berhak dipuja dan dipuji. Pemujaan kepada selain-Nya berarti keluar dari jalur yang telah ditentukan-Nya, bahkan mengarah kepada syirik

3. Kerajaan dan kekuasaan di Hari Akhirat nanti hanya kepunyaan-Nya. Dialah Raja satu-satunya, tidak ada seorangpun yang lain yang berkuasa pada hari itu. Segala kerajaan dan kekuasaan yang pernah diberikan kepada manusia sirna. Semua manusia mengharapkan kasih sayang dari-Nya dan tunduk hanya kepada-Nya

4. Ibadah atau penyembahan hanya untuk Allah. Demikian juga segala permohonan hanya ditujukan kepada-Nya. Hanya Allah yang mampu menolong para hamba-Nya. Permohonan kepada selain-Nya adalah bertentangan dengan kehendak-Nya, karena Dia-lah yang berhak diminta segala sesuatu dan Dia pula yang berhak menerima atau menolak suatu permohonan

5. Allah memberikan hidayah (bimbingan atau petunjuk) kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Orang yang tidak memperoleh hidayah akan tersesat jalanya. Karena itu, orang beriman sekurang-kurangnya dalam sehari semalam 17 kali memohon hidayah dari-Nya agar ditunjuki jalan yang lurus dan benar. Jalan yang lurus dan benar adalah jalan iman dan islam atau tauhid

6. Jalan benar dan lurus adalah jalan yang pernah ditempuh oleh orang-orang yang diberikan kenikmatan dan kebahagiaan hidup oleh Allah swt. yaitu para rosul, syuhada’ shiddiqin, dan sholihin. Bukan jalan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Orang-orang Yahudi telah dimurkai oleh Allah sedangkan orang-orang Nasrani termasuk golongan orang-orang yang sesat dan menyesatkan.

Pelajaran atau nasehat yang dapat di petik dari pembahasan surat Al-Fatihah secara singkat padat dan jelas tadi adalah sebagai berikut:

a. Setiap kita melakukan amal yang baik, maka kita diperintahkan untuk membaca basmallah (bismillahirrohmanirrohiim). Dalam kalimat basmallah tadi mengandung kasih sayang Allah dan keberkatan bagi setiap yang membacanya. Karena itu, amal yang tidak dimulai dengan basmallah akan terputus pahalanya.

b. Kalimat Alhamdulillah merupakan ungkapan tasyakkur seorang hamba kepada Allah swt. maka, setiap kali kita mengucapkan hamdallah berarti kita menafikan segala pujian kepada yang lain, dan yang berhak dipuji dan dipuja hanyalah Allah. Sebagaimana mengawali suatu perbuatan baik dengan basmallah, maka mengakhirinya juga mengucapkan hamdallah (al-hamdulillahi rabbil ‘aalamiin)

c. Sebelum kita memohon sesuatu kepada Allah, alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu memuji dan beribadah kepada-Nya. Ini mengisyaratkan bahwa untuk mendapatkan hak (pahala dan pengampunan), harus dipenuhi dahulu kewajiban (pengamalan ajaran agama). Kualitas amal seseorang sangat erat kaitanya dengan keikhlasan. Karena itu, dalam beribadah kepada Allah harus suci dan bersih dari sifat riya’

d. Agar kita tetap berada pada jalan yang benar dan lurus, maka setiap saat kita perlu memohon kepada Allah agar dianugrahkan hidayah tauhid, hidayah agama, dan hidayah akal yang tercerahkan. Dengan hidayah itu kita dapat menempuh jalan yang terang, jalan kebenaran, jalan Allah

e. Sebagai panutan dan teladan hidup, kita selayaknya menempuh jejak langkah yang pernah ditempuh oleh para Nabi, Shiddiqin, Syuhada’, dan Shalihin. Mereka semua adalah orang-orang yang telah mendapat pengakuan dari Allah sebagai orang yang diberikan nikmat dan sebagai calon penghuni surga.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Ahmad Musthofa. 1974. Tafsir Al-Maraghi juz I, terj. K. Anshori Umar Sitanggal dkk. Semarang: P.T. Karya Toha Putra

T.H. Thalhas dkk. 2001. Tafsir Pase. Jakarta: P.T. Dian Ariesta