I. Bunyi Teks Hadis dan Terjemahanannya
Adapun bunyi hadis masing-masing secara lengkap adalah sebagai berikut:
1. حدثنا أبو الربيع قال: حدثنا إسماعيل بن جعفر قال: أخبرنا العلاء عن أبيه عن أبى هريرة أن رسول الله صلى الله
عليه و سلم قال: "إذا مات العبد إنقطع عنه عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له" (رواه البخارى فى الادب المفرد ,ص 25, رقم: 38)
Kami (al-Bukhariy diberitahu oleh Abu al-Rabi’: dia mengatakan : kami diberitahu oleh Ismail bin Ja’far, dia mengatakan: kami diberitahu oleh al-‘
2. حدثنا يحي بن أيّوب و قتيبة (يعنى ابن سعيد) و ابن حجر قالوا: حدثنا إسماعيل (هو ابن جعفر) عن العلاء عن أبيه عن أبى هريرة:
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: "إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة: إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له (رواه مسلم فى صحيحه ج 2, ص 70, رقم 14 (1631)
Kami (Muslim) diberitahu oleh Yahya bin Ayyub dan Qutaibah (yakni Ibn Sa’id) ser-ta Ibn Hujr, mereka berkata: “Kami diberitahu oleh Isma’il (yakni Ibn Ja’far), dari al-‘
3. حدثنا الربيع بن سليمان ثنا ابن وهب عن سليمان – يعنى اين يلال – عن العلاء بن عبد الرحمن أره عن أبيه عن أبى هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: "إذا مان الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة أشياء: من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له" (رواه أبو داود فى سننه ج 3, ص 117, رقم: 2880)
Kami (Abu Dawud) diberitahu oleh Al-Rabi’ bin Sulaiman al-Muadzzin, kami diberi-tahu oleh Ibn Wahab dari Sulaiman, yakni Ibn Bilal, dari al-‘
4. حدثنا على ابن حجر, أخبرنا إسماعيل ابن جعفر, عن العلاء ابن عبد الرحمن عن أبيه عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: "إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية و علم ينتفع به و ولد صالح يدعو له (رواه الترمذى فى سننه ج 3, ص 88, رقم 1381 و قال أبو عيسى: هذا حديث حسن صحيح)
Kami (Al-Tirmidzi) diberitahu oleh ‘Ali bin Hujr, kami diberi kahbar oleh Isma’il bin Ja’far dari al-‘Ala` bin ‘Abd al-Rahman dari bapaknya dari Abu Hurairah8 bahwa rasulullah saw. bersabda: “Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputuslah da-rinya amalnya kecuali tiga hal, yakni sedekah jariyah dan ilmu yang diambil man-faatnya dan anak saleh yang mendoakannya”. (HR.Al-Tirmidzi di dalam Sunannya juz 3 halaman 88 hadis no. 1381, dan Abu ‘Isa (Al-Tirmidzi) berkata bahwa ini ada-lah hadis hasan shahih(
5. أخبرنا على بن حجر قال حدثنا إسماعيل قال حدثنا العلاء عن أبيه عن أبى هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: "إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاثة من صدقة جارية و علم ينتفع به و ولد صالح يدعو له (رواه النسائى فى سننه ج 6, ص 251)
Kami (Al-Nasai) diberi khabar oleh ‘Ali bin Hujr, dia berkata: “Kami diberitahu oleh Isma’il, dia berkata: “Kami diberitahu oleh Al-‘
6. حدثنا عبد الله حدثني أبى حدثنا سليمان بن داود حدثما إسماعيل أنبأنا العلاء عن أبيه عن أبي هريرة أن النبى صالى الله عليه و سلم قال: "إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة, إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له (رواه أحمد فى مسنده ج 2, ص 372)
Kami (penyalin kitab Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal) diberitahu oleh Abd Allah, aku diberitahu oleh bapakku, kami diberitahu oleh Sulaiman bin Dawud, kami diberitahu oleh Isma’il, telah bercerita kepada kami Al-‘Ala` dari bapaknya, dari Abu Hurairah bahwa nabi saw. bersabda: “Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputuslah darinya amalnya kecuali tiga hal, yakni kecuali sedekah jariyah, atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak saleh yang mendoakannya”. (HR. Ahmad di dalam Musnadnya juz 2 halaman 372).
7. إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له (خد م 3 عن أبي هريرة (ض)
“Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali dari tiga, yakni sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak saleh yang mendoakannya” (HR. Bukhari dalam al-Adab, Muslim, Abu Dawud, Al-Nasai dan Ak-Tirmidzi) (Lemah/dha’if menurut penilaian Jalal al-Din al-Suyuthi) dari Abu Hu-rairah. Lihat kitab Al-Jami’ al-Shaghir halaman 35).
II. Kualitas Sanad
Penelitian sanad untuk mengetahui kualitasnya merupakan tahap awal untuk mengetahui apakah perlu mencurigai matan (isi) hadis atau kemungkinan untuk menerimanya. Kaidah yang dipakai dalam meneliti sanad di sini adalah al-Jarh muqaddam ‘ala al-ta’dil (mencacat didahulukan atas anggapan adil/pujian), bukan sebaliknya, al-Ta’dil muqaddam ‘ala al-Jarh (anggapan adil didahulukan atas mencacat), karena jika ini yang dipakai, maka akan banyak ajaran-ajaran palsu yang bercampur dengan wahyu. Yang pada gilirannya akan memperkeruh ajaran yang sesungguhnya dari Tuhan.
Matan hadis yang mengandung pengertian bahwa apabila sesesorang meninggal dunia, maka terputuslah (darinya) amalnya kecuali tiga hal, yaitu amal jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya dan anak saleh yang mendoakannya, yang dalam redaksinya disabdakan oleh nabi saw. dan diterima oleh Abu Hurairah, kemudian oleh ‘Abd al-Rahman (Bapak al-‘Ala`), kemudian oleh al-‘Ala`, kemudian oleh Sulaiman bin Bilal dan Isma’il, dari Sulaiman diterima oleh Ibn Wahab, kemudian oleh AL-Rabi’ bin Sulaiman al-Muadzzin dan akhirnya sampailah kepada Abu Dawud.
Sedangkan dari Isma’il, lalu diterima oleh:
(1) Qutaibah bin Sa’id dan akhirnya oleh Muslim.
(2) Yahya bin Ayyub dan akhirnya oleh Muslim
(3) ‘Ali bin Hujr dan akhirnya oleh Muslim, Al-Nasai dan Al-Tirmidzi
(4) Sulaiman bin Dawud, dan akhirnya oleh Ahmad.
(5) Abu al-Rabi’, dan akhirnya oleh al-Bukhariy.
Penelitian ini berangkat dari ketidakpuasan peneliti terhadap penilaian Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakar al-Suyuthi terhadap hadis yang dirawayatkan oleh Bukhari-Muslim-Abu Dawud,al-Nasai, al-Tirmidzi dan Ahmad tersebut sebagai hadis yang dla’if atau lemah (Lihat kitab al-Jami’ al-Saghir halaman 35). Keenam perawi matan hadis tersebut, yakni Al-Bukhari-Muslim-Abu Dawud-Al-Nasai-Al-Tirmidzi dan Ahmad, menerimanya dari sanad terakhir, yakni Abu Hurairah. Perawi hadis tersebut melewati dua sanad yang cacat, yakni (1) Al-’Ala`, karena dinilai dla’if oleh Yahya, dinilai tidak kuat oleh Ibn ‘Adiy, hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah menurut penilaian Yahya bin Ma’in, dan juga dikatakan tidak kuat oleh Ibn ‘Adiy,[1] dan (2) Bapaknya (Abd Al-Rahman, nama lengkapnya adalah ‘Abd al-Rahman bin Ibrahim al-Qashsh) yang didha’ifkan/dilemahkan oleh Al-Daraquthni dan Al-Nasai menilainya tidak kuat.[2] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis idza mata al-insan/al-a’bd…, ditinjau dari segi kualitas sanadnya, adalah dla’if atau lemah. Adapun ditinjau dari segi matan atau kandungan nya, maka dapatlah dijelaskan sebagai berikut.
III. Kualitas Matan
Maksud hadis diatas adalah bahwa orang yang telah meninggal dunia terputus amalnya atau, lebih tepatnya, pahala amalnya kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, dan anak saleh yang mendoakannya. Dalam hadis tersebut ada keanehan dan mengandung kontradiksi terhadap ayat al-Quran dan hadis saheh. Keanehan itu adalah pengecualian amal dengan pahala. Seharusnya pengecualian amal itu dengan amal juga. Pengecualian amal dengan pahala tidak dapat diterima karena pahala itu ada karena amal. Semua orang memahami bahwa orang yang telah meninggal dunia tentu tidak dapat beramal sama sekali dan belum ada dalam sejarah orang mati lalu beramal lagi. Pengecualian amal apapun dari orang yang telah mati atau meninggal dunia tidaklah dapat diterima karena tidak pernah ada bukti yang menunjukkan kebolehannya.
Kalau yang dikecualikan itu pahalanya, bukan amalnya, juga aneh karena bertentangan dengan ayat al-Quran dan hadis-hadis saheh. Jika hadis itu benar, maka pahala selain dari tiga hal yang disebutkan di dalam hadis tersebut tidak dapat diperoleh oleh si mati. Jika hadis ini diterima, maka tidak ada artinya menyalatkan jenazah yang bukan orang tuanya, padahal rasulullah s.a.w. menyalatkan jenazah sahabat-sahabatnya dan menyalatkan jenazah seorang muslim masih terus menjadi kebiasaan hingga sekarang.
Terputus amal karena kematian adalah wajar tetapi kemampuan untuk menerima atau terpengaruh oleh amal orang yang masih hidup tidaklah terputus. Seandainya orang yang telah meninggal dunia, atau orang yang masih hidup, tidak dapat terpengaruh oleh amal orang yang masih hidup lainnya yang ditujukan kepadanya sebagaimana telah dituntunkan al-Quran dan al-Hadis, maka tidak perlu dianjurkan untuk melakukan istighfar kepada Allah untuk orang yang telah meninggal dunia, bahkan juga untuk orang yang masih hidup. Allah berfirman:
فاعلم أنه لآ إله إلا الله و استغفر لذنبك و للمؤمنين و المؤمنات والله يعلم متقلبكم و مثوكم (47: محمد: 19)
Maka ketahuilah bahwasanya tiada Tuhan sesembahan kecuali Allah dan mohonkanlah ampunan (kepada-Nya) bagi dosamu, dan dosa orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Allah mengetahui gerak-gerik kamu dan tempat tinggal kamu. (47 Muhammad: 19). Ayat tersebut mengandung dua kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia, yaitu (1) kewajiban mengetahui bahwa tiada Tuhan sesembahan selain Allah, dan (2) kewajiban memohonkan ampunan bagi dosa dirinya dan dosa-dosa orang-orang yang beriman lainnya. Oleh karena itu, Allah mengajarkan bagaimana cara memohonkan ampunan untuk orang lain meskipun, baik orang tuanya maupun bukan orang tuanya. Allah berfirman:
و الذين جاؤا من بعدهم يقولون: "ربنا اغفر لنا و لإخواننا الذين سبقونا بالإيمان و لا تجعل فى قلوبنا غلا للذين ءامنوا ربنا إنك رءوف رحيم" (59 الحشر: 10)
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan: “Ya Tuhan kami! Ampunilah dosa-dosa kami dan dosa-dosa saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan membawa iman. (59 al-Hasyr: 10). Saudara-sadara kami adalah saudara-saudara seiman, bukan hanya sauara kandung (yang seiman).
Hadis shahih juga menunjukkan bahwa orang mukmin yang telah meninggal dunia dapat terpengaruh secara positif oleh perbuatan orang yang masih hidup, misalnya sabda rasulullah s.a.w. yang menyatakan bahwa dua orang yang disiksa di dalam kubur bukan karena dosa besar…lalu beliau menanam dahan pohon yang akan memohonkan ampunan selama ia belum kering. Juga hadis tentang shalat jenazah yang tidak hanya dilakukan oleh anak saja tetapi juga oleh banyak orang yang tidak terkait dengan kekerabatan. Hadis-hadis semacam itu, seperti hadis menghajikan orang lain yang terkenal dengan dengan hadis Syibirmah/Syuburmah, hadis membayar hutang orang yang telah meninggal dunia, amat popular sebagai hujjah yang diamalkan secara terus menerus oleh umat Islam. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dunia, jika dia sorang muslim, akan dapat terpengaruh secara positif oleh perbuatan orang yang masih hidup karena jika tidak demikian, maka ayat-ayat dan hadis-hadis yang saheh akan ditinggalkan. Di sini disebutkan satu hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhariy dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas. Adapun selengkapnya adalah sebagai berikut:
حدثنا عبد الله بن يوسف أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن سليمان ابن يسار عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما: كان الفضل رديف رسول الله صلى الله عليه و سلم فجاءت امرأة من خثعم فجعل الفضل ينظر إليها و تنظر إليه و جعل النبيّ صلى الله عليه و سلم يصرف وجه الفضل إلى الشق الأخر فقالت: يا رسول ا لله, إن فريضة الله على عباده فى الحجّ أدركت أبى شيخا كبيرا لا يثبت على الراحلة أفأحجّ عنه؟ قال: "نعم" و ذلك فى حج الوداع (رواه البخاري فى صحيحه ج 1 فى باب وجوب الحج و فضله و مسلم)
Al-Bukhariy berkata: kami diberitahu oleh Abdullah bin Yusuf, telah memberitahu kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Sulaiman Ibnu Yasar dari Abdullah bin’Abbas r.a., (dia berkata): Al-Fadhal membonceng pada rasulullah s.a.w. Tiba-tiba datanglah seorang wanita dari suku Khats’am sehingga Al-Fadhal melihat kepadanya dan diapun melihatnya dan (oleh karenanya) nabi s.a.w. memalingkan wajah Al-Fadhal ke sebelah yang lain, kemudian wanita itu bertanya: “Wahai rasulullah, sesunguhnya kewajiban dari Allah terhadap hamba-hamba-Nya dalam masalah haji datang kepada ayahku dalam keadaan sudah tua sehingga dia tidak mampu bepergian, maka apakah aku boleh menghajikan atas nama dia? Beliau s.a.w. menjawab: “Boleh”. Yang demikian adalah pada haji wada’ (HR Al-Bukhariy di dalam Shahihnya dalam bab kewajiban haji dan keutamaannya, Juz 1, hlm. 589. dan juga diriwayatkan oleh Muslim).
IV. Kesimpulan
Dari tinjauan kualitas sanad maupun pemeriksaan terhadap matannya berdasarkan atas komentar para ahli hadis dan logika serta ayat-ayat al-Quran dan Hadis yang shahih, dapatlah disimpulkan bahwa hadis Abu Hurairah, yang diriwayatkan oleh enam perawi hadis sebagaimana tersebut di atas, yang menjadi pembahasan pokok dalam tulisan ini, tidak dapat dijadikan pegangan dalam beramal karena hadis tersebut terbukti lemah baik dari segi sanadnya maupun dari segi matannya. Kelemahan dari segi sanad karena terdapat dua orang sanad, yakni al-‘Ala’ dan Abd al-Rahman bin Ibrahim al-Qashsh, ayahnya, yang dinilai lemah oleh ahli al-Jarh wa al-Ta’dil, seperti Ibn ‘Adiy, Yahya bin Ma’in, al-Daraquthniy, al-Nasai. Sedangkan kelemahan dari segi matannya adalah karena ia bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran maupun hadis-hadis saheh lainnya. Kelemahan hadis tersebut bukan terletak pada bahwa ketiga hal tersebut baik dan boleh diamalkan tetapi terletak pada pembatasan hanya tiga hal itulah kekeliruannya karena terbukti selain ketiga hal itu dibolehkan menurut al-Quran dan hadis yang saheh, seperti istighfar untuk orang Islam yan bukan orang tuanya dan menghajikan orang tua yang tidak disebutkan dalam hadis tersebut tetapi disebutkan dalam hadis saheh yang lain. Wallahu a’lam!