Jumat, 11 Desember 2009

Demokrasi dalam Islam

Disusun Oleh : Abdul Qodir Jaelani, Dwi Wahyu Prasetyo, Andhika Abrian Saputra, Imam Afijatan, Supitri Okfia, Hendri Apriyanto

A. Pengertian
Konon, demokrasi berakar dari peradaban bangsa Yunani Kuno pada 500 SM. Dari negeri itulah, asal kata demoskratos, yang demos berarti rakyat dan cratos berarti pemerintahan. Sejatinya, jauh sebelum bangsa Yunani mengenal demokrasi. Para ilmuwan meyakini, bangsa Sumeria yang tinggal di Mesopotamia juga telah mempraktikkan bentuk-bentuk demokrasi. Konon, masyarakat India Kuno pun telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan mereka, jauh sebelum Yunani dan Romawi.
Pengertian demokrasi dalam dunia modern lebih ditekankan pada makna bahwa kebebasan tertinggi dalam urusan-urusan politik ditangan rakyat. Demokrasi adalah sistem yang didalamnya berlaku prinsip kedaulatan rakyat. Dalam wacana politik modern demokrasi didefinisikan seperti apa yang telah dirumuskan oleh negarawan amerika, Abraham Lincoln, pada tahun 1863, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the people, by people, for the people) .
Dalam Al-Qur`an kita dapatkan sebuah perintah untuk bermusyawarah

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
( QS. Ali Imron [3] : 159 )
Ayat ini turun setelah peristiwa perang uhud. Dengan turunnya ayat ini, Allah berpesan pada Nabi bahwa tradisi musyawarah (yang luhur tersebut) harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan meski terbukti hasil keputusan (kadang) keliru. Itulah harga yang harus dibayar dari sebuah bahasa sekarang demokrasi .

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
( QS. Asy-Syuura [42] : 38 )

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
( QS. An-Nisa` [4] : 59 )
Zainal Abidin Ahmad, seorang tokoh intelektual islam modernis Indonesia, ketika menafsirkan Ulu al-amr yang terdapat dalam surat An-Nisa [4] ayat 59 tersebut, menafsirkan terma Al-Qur`an ini sebagai wakil-wakil rakyat yang dipilih untuk dewan perwakilan, karena terma ini diikuti dengan ungkapan minkum (dari kalanganmu) yang berarti mereka yang kamu pilih. Prinsip ini menurutnya tidak lain dari demokrasi .

Berkata Dia (Balqis): "Hai Para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)". ( QS. An-Naml [27] : 32 )
Dalam sistem demokrasi bahwasannya kekuasaan tertinggi ditangan rakyat. Rakyat secara individu bertanggung jawab terhadap baik atau buruk kehidupan sebuah negara, karena itu merupakan tanggung jawab pribadinya dalam kehidupan didunia yang harus dipertanggung jawabkan kepada Allah dihari kelak. Karena itu rakyat turut memiliki negara sebagai tempat dia melakukan pengabdian kepada Allah, maka ia berhak menentukan arah kebijaksanaan Negara sehingga umat berada dalam kebajikan dan tidak terjadi kemungkaran yang dicela oleh Al-Qur`an dan mendapat ganjaran siksa dari Allah.
Mengikuti pemikiran Fazlur Rahman mengenai peran rakyat dalam negara menunjukkan kepada kita bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara ada pada rakyat yang kemudian secara musyawarah diserahkan kepada pemimpin negara untuk melaksanakan segala progam yang telah dirumuskan dengan mempertahankan batas yang terdapat dalam Al-Qur`an. Teori ini menunjukkan bahwa Fazlur Rahman lebih cenderung pada teori kedaulatan rakyat yaitu kekuasaan dengan kedaulatan tertinggi ada pada rakyat, dalam hal ini Fazlur Rahman memang tidak setuju pada teori kedaulatan Tuhan. Karena Tuhan tidak pernah bertindak sebagai yang memiliki kedaulatan secara politik dan tidak pula sebagai pembuat hukum atau undang-undang. Kedaulatan Tuhan bukanlah dalam masalah politik, tetapi kewajiban manusia mengikuti prinsip-prinsip yang ditentukan dalam Al-Qur`an yaitu prinsip keadilan dan prinsip kejujuran dalam beriman. Keadilan itu obyektif, tidak bergantung dan juga tidak menyatu dengan keinginan-keinginan rakyat yang bersifat subyektif.
Muhammad Yusuf Musa dalam bukunya, Nizam al-Hukm fi al-Islam menyatakan bahwa suber otoritas atau kedaulatan adalah umat (rakyat) dan bukan penguasa, karena penguasa hanya sebagai wakil rakyat dalam menangani masalah-masalah agama dan urusan mereka sesuai dengan syariat Allah. Seorang pemimpin mendapatkan kekuasaan dari rakyat, dan rakyat berhak menasehati, memberikan pengarahan, dan mengkritik bila diperlukan. Dan rakyat berhak mencabut kekuasaan yang diberikan kepada penguasa apabila ada alasan untuk itu.
B. Demokrasi Dalam Islam
Islam telah didiskreditkan dalam dua hal. Ketika ia dibandingkan dengan demokrasi dan ketika dikatakan bahwa islam bertentangan dengan demokrasi. Karena membandingkan antara keduanya merupakan hal yang salah, seperti menganggapnya saling bertentangan juga salah. Ini adalah masalah yang perlu klarifikasi dan penjelasan.
Dari segi metode, perbandingan antar kedua hal diatas tidak bisa dibenarkan karena Islam merupakan agama dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak, dan muamalah manusia. Sedang demokrasi hanya sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerja sama antara anggota masyarakat serta simbol yang membawa banyak nilai-nilai positif.
Aqidah yang menjadi dasar munculnya demokrasi adalah sekularisme yakni pemisahan agama dari urusan kehidupan dan negara. Sekularisme memang tidak menafikan eksistensi agama, tetapi mengesampingkan fungsi dalam mengatur kehidupan dan negara yang berarti manusialah -tanpa campur tangan agama- yang berwenang membuat aturan bagi dirinya.
1. Gagasan Demokrasi
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, gelombang demokrasi telah meluas ke berbagai negara, tak terkecuali negara-negara berpenduduk Muslim. Wacana demokrasi dan Islam yang kerap diwarnai pro dan kontra selalu menarik untuk diperbincangkan.
Gagasan demokrasi dibawa ke negara-negara berpenduduk Muslim oleh para pemikir Islam yang mempelajari budaya Barat. Para pemikir inilah yang kemudian menekankan pentingnya umat Islam untuk mengadopsi hukum-hukum Barat dengan cara selektif. Salah satu pemikir Islam yang menekankan hal itu adalah Muhammad Abduh (1848-1905) - pembaru pemikiran Islam di Mesir.
Melalui Al-Manar, Abduh menekankan pentingnya penguatan moral akar rumput masyarakat Islam, dengan kembali ke masa lalu, namun mengakui dan menerima kebutuhan untuk berubah, serta menghubungkan perubahan itu dengan ajaran Islam. Abduh meyakini Islam dapat mengadopsi untuk berubah sekaligus mengendalikan perubahan itu.
''Islam dapat menjadi basis moral sebuah masyarakat yang progresif dan modern,'' papar Abduh. Seabad kemudian, banyak negara Muslim di dunia yang memilih demokrasi untuk diterapkan dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World membagi pandangan umat Islam terhadap demokrasi ke dalam dua kelompok, yakni liberal dan konservatif. Para pendukung Islam liberal dipengaruhi Muhammad Abduh. Kelompok ini menyatakan bahwa agama Islam tak bertentangan dengan perspektif sekuler. Menurut kelompok ini, Islam mendorong umatnya untuk mendirikan pemerintahan yang berbasis pada pemikiran modern. Tiga konsep yang menjadi perhatian penganut kelompok Islam liberal adalah Syura (musyawarah), Al-Maslahah (kepentingan umum), dan 'Adl (keadilan). Kelompok ini memandang tidak ada kesepakatan diantara ilmuwan Islam mengenai syura. Meski begitu, pada dasarnya mereka sepakat pada ayat Alquran yang memerintahkan Nabi untuk berkonsultasi dengan penasehatnya. Penganut paham liberal juga meyakini Muslim yang baik perlu bermusyawarah dengan orang lain untuk membangun hubungan. Bagi mereka, demokrasi tak bertentangan dengan Islam.
Sementara itu, kelompok konservatif menyatakan kedaulatan bukan berada di tangan manusia, tetapi di tangan Tuhan. Pandangan kelompok konservatif banyak dipengaruhi pemikiran ulama asal Mesir, Sayyid Qutb (1906-1966). Ia menyatakan, sistem negara-negara Arab yang tak Islami sebagai bagian dari jahiliyah modern. Menurut Sayyid Qutb, banyak aspek yang berlaku dalam kehidupan modern, termsuk institusi dan kepercayaan barat sebagai kejahatan dan bertentangan dengan Islam. Dia meyakini, universalitas dan kesempurnaan Islam sangat cocok bagi setiap orang tanpa memandang tempat dan waktu. Syariah menjadi sumber aturan kehidupan.
Pemikir Islam lainnya, Hasan Al-Turabi, menyatakan sistem sosial dan politik perlu didasarkan pada tauhid. Menurut dia, syura dan tauhid bergandengan tangan. ''Syura dibutuhkan untuk menerjemahkan syariah dalam berhubungan dengan konstitusi, hukum, sosial dan masalah-masalah ekonomi,'' papar Al-Turabi. Bagi kelompok konservatif, syura sangat berbeda dengan gaya demokrasi Barat. Begitulah umat Islam memandang demokrasi.
2. Perspektif Islam atas Demokrasi
Azyumardi Azra mengungkapkan, “Dunia masih menantikan perspektif Islam atas demokrasi. Demokrasi mempunyai nilai sangat universal, tetapi tetap membutuhkan kontekstualisasi. Apalagi bagi Indonesia yang mayoritas rakyatnya beragama Islam”.
"Demokrasi tak lagi bisa dilihat sebagai hal yang bertentangan atau tidak bertentangan dengan agama. Bukan berarti demokrasi hendak diagamakan atau sekuler, tetapi demokrasi membutuhkan kontekstualisasi dalam kehidupan masyarakat," ujarnya.
Saiful menambahkan, dimensi yang baik dalam studi komunitas Muslim di Indonesia, adalah aspek aktif dalam berdemokrasi. Aspek ini merupakan keterlibatan dalam proses demokrasi yang sangat baik. Untuk dapat mencapai tahap matang demokrasi, tak hanya aktivisme yang dibutuhkan, tetapi juga pasivisme.
"Kombinasi keduanya membuat demokrasi tidak revolusiner, tetapi sebuah proses. Pasivisme misalnya sikap toleransi. Kalau aspek ini tidak berkembang, hanya menekankan partisipasi, demokrasi tidak berkembang," ujarnya lagi.
Peneliti Daniel Dhakidae, yang membahas buku Saiful, mengatakan, kesimpulan tentang Indonesia yang penduduk Islamnya toleran merupakan ciri dari penelitian yang menggunakan pendekatan perilaku. Kata demokrasi, kebebasan, dan persatuan telah menjadi kata-kata yang laku dalam wacana Arab kontemporer.
Tema tentang Islam dan demokrasi jelas bukan hal baru. Bahkan, itu selalu dibicarakan, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Seperti pernyataan seorang peserta Sidang Dewan Tafkir, pembicaraan tentang ini mengisyaratkan seolah-olah tidak ada kesesuaian antara Islam dan demokrasi. Karena itu, terjadi stigmatisasi di kalangan masyarakat internasional bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi, khususnya menyangkut hal 'kedaulatan rakyat' dalam demokrasi dengan apa yang sering disebut sebagai 'kedaulatan Tuhan' (hakimiyyah Allah).
Bahwa tidak ada rumusan perinci tentang sistem politik yang dapat diterapkan umat Islam dalam Alquran telah menjadi semacam kesepakatan jumhur (mayoritas) ulama fikih siyasah (politik). Sebaliknya, terdapat beberapa prinsip pokok dalam Alquran yang dapat menjadi landasan bagi penerimaan demokrasi dalam Islam, misalnya syura (musyawarah, baik melalui representasi pada lembaga legislatif maupun eksekutif atau secara langsung); al-musawa (kesetaraan); al-'adalah (keadilan); akuntabilitas publik (ra'iyah); dan seterusnya. Atas dasar prinsip-prinsip ini, penerimaan demokrasi melalui kerangka fikih siyasah di atas tidak dilihat mengurangi 'kedaulatan Tuhan'. Kedaulatan Allah terhadap makhluknya merupakan sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan lagi. Allah tetap Mahakuasa (vis-à-vis) makhluknya meski ada 'kedaulatan rakyat' yang diwujudkan melalui sistem politik demokrasi. Karena itu, kedua bentuk kedaulatan--yang sebenarnya tidak sebanding--tak perlu dipertentangkan.
Atas dasar kerangka itulah, para pemimpin umat Muslim umumnya dapat menerima demokrasi, khususnya di Indonesia, sejak negara ini memaklumkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Memang, dalam perjalanannya, terdapat pemikiran dan gerakan--termasuk bersenjata--yang ingin mengganti demokrasi dan bahkan Pancasila dengan teokrasi Islam, tetapi mengalami kegagalan.
3. Alasan Kontra terhadap Demokrasi
Islam dibangun diatas dasar aqidah Islam yang mengharuskan seluruh aspek kehidupan manusia dan negara diatur oleh Allah. Manusia hanya berkewajiban untuk menjalankan aturan-aturan-Nya dalam aspek kehidupan. Allah SWT berfirman :

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.
(QS. Al-Ahzab[33]:36)
Sementara itu asas demokrasi ada dua, yaitu 1. kedaulatan ditangan rakyat. 2. rakyat sebagai sumber hukum. Sebaliknya dalam Islam kedaulatan di tangan Allah atau syariat-Nya. Hanya Allah yang berdaulat. Yang berhak membuat hukum bagi manusia. Manusia tidak memiliki wewenang untuk membuat satu hukumpun

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?
(QS. Al-Maidah [5]: 50)

Demokrasi tidak sesuai dengan Islam, karena beberapa sebab :
1. Buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah SWT. demokrasi bukan bersumber dari wahyu, bahkan menolak campur tangan agama dalam percaturan kehidupan baik bermasyarakat maupun bernegara
2. Dalam menentukan kebenaran bersumber dari suara mayoritas, bukan bersumber kepada wahyu. Padahal kebenaran hanya bersumber kepada dalil, baik Al-Quran maupun As-Sunnah.
3. Menganut Kebebasan dalam segala hal, baik kebebasan beragama, berpendapat, kepemilikan dan bertingkah laku. Sedangkan Islam membatasi kebebasan terikat dengan hukum syariat.
Perkataan Qaradhawi : Demokrasi dan syura adalah dua sisi mata uang yang tak mungkin pisah. Ucapan ini adalah pengaburan dan merupakan tipuan karena diantara demokrasi dan syura ada perbedaan-perbedaan yang mendasar laksana langit dan bumi. Perhatikanlah perbedaan-perbedaan tersebut :
1. Syura adalah aturan Ilahi sedangkan demokrasi merupakan aturan orang-orang kafir.
2. Syura dipandang sebagai bagian dari agama sedangkan demokrasi adalah aturan tersendiri.
3. Di dalam syura ada orang-orang yang berakal yaitu Ahlul Halli wal ‘Aqdi (yang berhak bermusyawarah) dari kalangan ulama, ahli fiqih, dan orang-orang yang mempunyai kemampuan spesialisasi dan pengetahuan. Merekalah yang mempunyai kapabilitas untuk menentukan hukum yang disodorkan kepada mereka dengan hukum syariat Islam. Sedangkan aturan demokrasi meliputi orang-orang yang di dalamnya dari seluruh rakyat sampai yang bodoh dan pandir sekalipun.
4. Dalam aturan demokrasi semua orang sama posisinya, misalnya : Orang alim dan bertakwa sama posisinya dengan seorang pelacur, orang shalih sama derajatnya dengan orang yang bejat, dll. Sedangkan dalam syura maka itu terjadi akan tetapi semua diposisikan secara proporsional
Kata demokrasi sendiri berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat. (Wikipedia indonesia). Karena itu marilah kita mengurai konsep demokrasi sebagaimana dipahami oleh pemikiran Arab kontemporer. Ketika orang Arab mulai berhubungan dengan orang barat dan pemikirannya yang liberal di abad ke-19, sebagian dari mereka, yang di sebut sebagai kaum salaf berusaha mencari apa yang sesuai atau mendekati konsep-konsep liberalisme eropa. Mereka menyesuaikan konsep demokrasi eropa dengan konsep syura dalam islam.
Dapat dipastikan bahwa seorang pemikir yang berada pada otoritas ini bersandar pada al quran, surat Ali-Imron 159 yang berarti Bermusyawarahlah kamu dengan mereka mengenai urusan itu, dan surat asy-Syura 38 yang artinya dan mereka bermusyawarah mengenai masalah diantara mereka. Dengan demikian syura artinya mengambil sesuatu dari tempatnya yakni dari seseorang yang memang pantas diambil pendapatnya.
Sikap kaum muslim terhadap demokrasi menjadi sentral penting yang dipenuhi dengan kerancuan karena mereka memikul beban sejarah yang sangat berat dan masa lalu ini sangat berperan besar dalam melahirkan berbagai keraguan dan kebimbangan bahkan mungkin penolakan dan juga tuduhan.
Sebagian orang tidak memandang demokrasi sekarang ini sebagai sistem pemerintahan yang berlandaskan pada kebebasan, kerja sama politik, pluralisme dan lain sebagainya tetapi memandangnya sebagai rumusan bagi konsep barat yang memperburuk citra bangsa arab dan kaum muslim. Paling tidak media informasi di barat menampakkan permusuhan kepada islam. Dengan demikian tidak diakuinya demokrasi versi barat ini tidak dapat dianggap sebagai penolakan terhadap demokrasi itu sendiri, tetapi pada hakikatnya penolakan tersebut berdasarkan pada konsep yang disodorkan.
Dari uraian diatas muncul berbagai pendapat-pendapat atau pandangan dari beberapa tokoh, diantaranya Amin Rais dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Menurut Amin Rais, ada tiga alasan mengapa demokrasi sebagai prefensi terbaik bagi islam ataupun pengembangan masyarakat-negara. Pertama, demokrasi tidak saja merupakan bentuk vital dan terbaik pemerintahan yang mungkin diciptakan, tetapi juga merupakan suatu doktrin politik luhur yang akan memberikan manfaat bagi kebanyakan negara. Kedua, demokrasi sebagai sistem politik dan pemerintahan mempunyai akar sejarah yang panjang sampai ke zaman yunani kuno sehingga ia tahan banting dan dapat menjamin terselenggaranya suatu lingkungan politik yang stabil. Ketiga, demokrasi merupakan sistem yang paling alamiah dan manusiawi sehingga semua rakyat di negara manapun memilih demokrasi bila mereka diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya.
Menurut Abdurrahman Wahid, hubungan islam dan demokrasi lebih bersifat substantive daripada simbolis. Revitalisasi atau kebangkitan islam dalam konteks ini harus dipersepsikan sebagai upaya atau kebangkitan untuk menegakkan masyarakat baru yang lebih adil, demokratis dan berkedaulatan hukum serta santun terhadap pluralitas.
Namun meskipun demokrasi telah menjadi preferensi terbaik dan paling rasional, Gus Dur menegaskan bahwa demokrasi sebagaimana juga halnya dengan negara, tidaklah sempurna dan memuaskan. Kerelaan untuk menerima kenyataan ini justru membangkitkan tekad untuk selalu mengusahakan perbaikan terus menerus agar menghampiri kesempurnaan sekaligus menjaga agar tidak terjadi kemerosotan dan kemacetan apalagi penyimpangan dan ketimpangan yang tidak perlu.
Demokrasi tidak bisa berjalan baik tanpa penghormatan dan kepatuhan kepada tatanan hukum--hal itu tentu saja juga sangat diajarkan Islam. Demokrasi juga dapat menjadi kacau balau tanpa keadaban publik (public civility), yaitu sikap dan perilaku yang berlandaskan adab, akhlak, etika, dan moralitas. Politik dan demokrasi tanpa keadaban publik seperti itu dapat berujung pada kekacauan. Dan, ormas-ormas Islam dengan pengaruh dan daya tekannya yang kuat dapat kian memperkuat perannya dalam bidang-bidang ini.
4. Syura Model Demokrasi Islam
Selepas wafatnya Rasulullah SAW pada 12 Rabiul awal 11 H, para sahabat memutuskan untuk mencari tokoh yang dapat memimpin umat Islam. Sebelum Rasulullah wafat, beliau tidak menunjuk pengganti atau mewariskan kepemimpinannya kepada seseorang. Suksesi kepemimpinan pada waktu itu dilakukan para sahabat dengan musyawarah (syura) dan pemilihan.
Masyarakat Islam dengan sukarela dan tanpa paksaan mengakui dan menyetujui empat sahabat Rasulullah, secara berurutan, Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, menjadi Khulafa' ar-Rasyidin (para pengganti yang memberi bimbingan). Pemilihan dan musyawarah dilakukan sesuai dengan kondisi saat itu. Sejak saat itulah, kemudian muncul istilah syura dalam kehidupan politik, sosial, dan kemasyarakatan umat Islam. Syura berarti permusyawaratan, hal bermusyawarah atau konsultasi.
Setiap orang yang bermusyawarah tentu akan berusaha menyatakan pendapat yang baik, sehingga masalah atau persoalan yang dihadapi bisa diselesaikan. Jika para pemimpin masyarakat, politik dan pemerintahan mengikutsertakan rakyat untuk memusyawarahkan suatu urusan, maka rakyat akan memahaminya dan ikut berpartisipasi dalam melaksanakannya.
Bentuk pelaksanaan syura memang tak ada yang menjelaskannya. Nabi Muhammad SAW yang gemar bermusyawarah dengan para sahabatnya tak mempunyai pola dan bentuk tertentu. Sehingga, bentuk pelaksanaan syura bisa disesuaikan dengan kondisi dan zaman umat Islam.
C. Konsep Demokrasi dalam Islam
Persoalan yang sangat menarik adalah suatu kenyataan bahwa kaum intelektual secara terbuka menerima gagasan demokrasi modern. Fenomena ini menjadi menarik karena setelah beberapa abad sikap seperti itu tidak terlihat, karena adanya sikap anti barat yang berlebihan.
Ada beberapa konsep pembenaran teologis-sosiologis yang digunakan oleh sejumlah intelektual Muslim dalam merumuskan gagasan demokrasi. Secara umum konsep ini merupakan hasil perenungan intelektual dan kratifitas berfikir (ijtihad) yang dilakukan segara terbuka, bebas rasa rendah diri dan prasangka-prasangka buruk yang berlebihan terhadap nilai-nilai diluar islam.
Pertama, demokrasi diterima sebagai keharusan sejarah. Berdasarkan hukum-hukum sosial perubahan masyarakat, akan selalu mengalami perubahan dari bentuk sederhana dan tertutup menuju yang lebih kompleks dan terbuka. Setiap masyarakat akan berkembang dari tingkat yang rendah ke yang lebih tinggi (hukum integrasi), dari homogen ke heterogen (hukum diferensiasi), dari tradisional-agraris ke modern-industrial (hukum modernisasi), dari autotarian ke demokratis, dan evolusi sosial berjalan menuju keseimbangan yang lebih sempurna (hukum keseimbangan). Perubahan masyarakat harus berjalan secara dinamis menuju suatu sistem dan keadaan yang lebih ideal.
Kedua, beberapa intelektual muslim merumusakan titik temu antara Islam dan demokrasi melalui pencarian koherensi prinsip atau nilai-nilai dasar tentang pengaturan kehidupan. Islam dengan sendirinya dianggap kompatible dengan prinsip demokrasi karena adanya koherensi nilai yang didalamnya, seperti prinsip persamaan (al-musawa ), kebebasan (al-hurriyah), pertanggung jawaban publik (al-mas`uliyah) dan kedaulatan rakyat atau musyawarah.
Menurut Hamid Enayat, jika yang dimaksud demokrasi adalah system pemerintahan yang bertolak belakang dengan kediktatoran, maka islam sesuai dengan demokrasi. Karena dalam Islam tidak ada tempat bagi pemerintahan tirani oleh seseorang atau sekelompok orang.
Ketiga, pendekatan evolusi. Teori ini digagas oleh Mahmoed Mohamed Taha, seorang tokoh intelektual sudan. Premis dasar Taha adalah suatu pengujian secara terbuka terhadap isi Al-Qur`an dan sunnah yang melahirkan dua tahap risalah islam, yaitu periode mekah dan tahap madinah. Menurutnya pesan Makkah merupakan pesan Islam yang abadi dan fundamental, yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh umat manusia tanpa membedakan jenis kelamin, keyakinan, ras dan nilai-nilai lain. Substansi pesan makkah menekankan pada nilai-nilai keadilan dan persamaan yang fundamental dan martabat yang melekat pada seluruh umat manusia.
Dengan metode evolusi diatas, Taha hendak mengatakan bahwa dengan mengambil pesan-pesan universal-egalitarian-demokratik dari ayat-ayat makkah dan me-naskh pesan-pesan sektarian-deskriminatif dari ayat-ayat madinah, maka gagasan demokrasi dan hak-hak asasi manusia modern bisa diterima secara terbuka tanpa hambatan teologis yang membingungkan.
Keempat, pendekatan Islam pembebasan. Islam adalah agama yang sejak kelahirannya membawa misi pembebasan masyarakat dari kepercayaan-kepergayaan palsu (syirik), dan membebaskan mereka dari segala bentuk eksploitasi struktural dan ketidak adilan sistem sosial ekonomi yang ada (kufr).
Kelima, pendekatan kontekstualisasi pemikiran islam klasik. Realitas kekinian tradisi pemikiran kaum tradisionalis menunjukkan adanya upaya rekontruksi pemikiran islam dalam format yang radikal dan terbuka. Adanya alur pemikiran yang mapan dan diberangkatkan dari paradigma pemikiran masa lampau membuat kaum tradisionalis modern dapat secara terbuka menerima gagasan demokrasi, yang liberal sekalipun. Demokrasi diyakini sebagai hasil dari perkembangan kebudayaan yang bercorak humanistik.
D. Demokrasi dan Pemahamannya dalam Ranah Islam
Nilai-nilai demokrasi seperti yang telah dijelaskan diawal telah mewarnai peradaban umat manusia sejak zaman Mesopotania, demokrasi sendiri merupakan perwujudan musyawarah dan suatu wadah politis bagi masyarakat atau rakyat dalam bernegara dan berkonstitusi secara langsung. Dalam membentuk suatu wadah politis rakyat merupakan tuan yang mempunyai kekuasaan untuk memberikan mandat bagi perwakilannya untuk memimpin mereka, mengurus mereka dan memenuhi segala hasrat politisnya.
Nabi Muhammad SAW selain sebagai Rasul beliau juga merupakan seorang negarawan ulung yang membuat namanya besar dalam sejarah peradaban umat manusia, bahkan sejarah pun melihat Rasulullah sebagai peletak dasar konstitusi pertama didunia melalui piagam madinah yang konon merupakan perjanjian paling modern dizamannya, yang Nabi Muhammad rancang pada saat mendirikan Negara Madinah al muawwarah atau Yastrip pada saat itu.
Penduduk Madinah yang berjumlah sekitar sepuluh ribu jiwa, umat muslim hanya berjumlah sekitar seribu lima ratus saja sedangkan yang lainnya beragama Yahudi dan musrik, sehingga jelas nilai-nilai demokrasi dan pluralitas sangat diperhatikan mengingat penduduk madinah terdiri dari berbagai golongan yang berbeda. Nabi sebagai kepala Negara membuat nota kesepakatan bersama, sebagai wadah politis dan merupakan peletak dasar konstitusi pada saat itu, dalam hal ini jelas suara rakyat non muslim dan rakyat muslim sama, dalam artian penyelesaian permaslahan kenegaraan atau suatu hal kebaikan. Seperti dalam pasal 37 piagam madinah yang berbunyi :
Pasal 37 : Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka ( Yahudi dan Muslimin) bantu-membantu dalam menghadapi musuh Piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya.
Inti dari demokrasi yang dibangun Rasulullah di Madinah adalah pengambilan keputusan bersama dan menghargai rakyat Madinah yang plural tidak pandang bulu dalam mengambil keputusan.
Namun dalam perkembangannya sistem demokrasi mulai diwarnai oleh berbagai pemikiran atau paham, seperti demokrasi terpimpin atau komunis yang digawangi oleh Marx dan Lenin, liberal oleh Amerika dan sebagainya yang sesungguhnya malah menghilangkan makna kata demokrasi itu sendiri dimana rakyat adalah penguasa, suara rakyat dapat meruntuhkan rezim, atau dapat mengangkat seorang pemimpin yang akan mengayomi rakyatnya dan mengangkat derajat negaranya dimata dunia.
Oleh karena itu bukanlah hal yang bijak apabila kita mengharamkan demokrasi karena alasan pengambilan keputusan yang membeir nilai sama kepada semua rakyat baik muslim maupun non muslim. Sebelum kita berdemokrasi kita juga harus menghargai pluralis dan HAM. Bukankah bunga itu indah karena berbeda-beda?

DAFTAR PUSTAKA

Masdar, Umaruddin. 1999 Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Deokrasi. Yogyakarta : Pusataka Pelajar. Cet. II
Ghafur, Waryono Abdul. 2005. Tafsir Sosial ; Mendialogkan Teks dengan Konteks. Yogyakarta : eLSAQ Press.
Huwaydi, Fahmi. “Al-Islam wa Al-Dimuqratiyah”terbitan Markaz Al-Ahram, Cet. I, Kairo,1993[terj.].(penterjemah) Muhammad Abdul Ghafur. edisi Indonesia Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani; isu-isu besar politik Islam. Mizan.Bandung. 1996
Amirudin, M. Hasbi. 2000. ”Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman”. Yogyakarta: UII Press
Sumber Internet
-Republika Online : www.Republika.co.id
-Situs Azyumardiazra : http://azyumardiazra.com/
-http://Ruhullah.wordpress.com
http://74.125.153.132/search?q=cache:vvgp_OdemtmgJ:groups.yahoo.com